Eunoia

Name of D
Chapter #3

Fragmen ke-2: Rindu di Titik Nadir

Mungkin terlalu lama aku hidup dalam khayal. Terjerat masa lalu yang menggelayuti syaraf-syaraf otakku. Sering diriku tersisih dari alam kesadaran, menjauh dari realita dunia. 

Memasuki kenangan lama. Layaknya monokrom, berhenti pada suatu episode pilihan. Saat raga tanpa beban, berlari riang di padang nan luas. Gairahku lepas. Dan ketika senja menjelma, sebuah senyum manis menyapaku, gemerincing panggilan syahdu merayu untuk kembali pulang dalam dekapannya. Suatu dekapan hangat yang tidak dimiliki mentari.

***

Aku masih bisa mencium aromanya, berbagai macam obat yang menyengat indra penciuman. Lekat diriku yang mengintip beningnya warna kaca yang memerah akibat berlatar gorden-gorden antik. Suasananya...senyap sejadi-jadinya. Bagiku sungguh tenang nuansa hari itu; rintik melankolis air langit, gemiricik luruh menggelombang frekuensi hingga ke titik nyenyak. Lamat-lamat detak mesin elektrokardiograf mengharmonikan segalanya menjadi nada-nada sedu.

Aku terduduk di kursi koridor rumah sakit, persis di samping ruang ICU. Kesadaranku fluktuatif, hilang timbul bak neraca tak seimbang. Mata ini terasa berat, amat mengantuk akibat tidak tidur semalaman. Sudah satu minggu aku tidak bertemu ibuku. Kami terpisahkan oleh tabir pintu ruangan ICU ini. Setiap kali aku mau menerobos masuk, perawat mencegahku. Semua itu serta merta dilakukan atas dasar petuah standar operasional prosedur rumah sakit.

"Adek manis belum boleh masuk dulu ya." Kata seorang perawat wanita sambil menahan tanganku.

Penyakit kelenjar getah ludah bening atau dalam dunia medis dikenal dengan Limphadenopathy menjangkit tubuh ibu. Entah kenapa ia betah berlama-lama di dalam sana. Aku sudah lupa berapa lama ia mendiami ibu. Cukup lama hingga ia sempat beranak pinak di dalamnya. Tidak tanggung, terakhir kali dironsen di Penang, Malaysia tempo hari, ia sudah mencapai stadium akhir dan memiliki 12 anak serta tambahan 2 istri yang besarnya serupa dirinya. Secara tidak langsung itu petanda nyawa ibu tinggal menghitung minggu jika tidak cepat dioperasi. Wlaupun operasi yang dimaksud di sini tidak lebih dari sekedar satu kemungkinan dari dua kemungkinan lainnya. Gagal atau kehabisan waktu hidup.

Kanker kelenjar ludah bening merupakan salah satu parasit sekaligus pembunuh paling lihai dan bengis. Terampil dari hari ke harinya yang semakin tumbuh bringas menyedot energi inangnya. Menafkahi diri dan keluarganya dengan cara haram, mencuri nutrisi dari tubuh ibuku. 

Namun apalah daya, biaya operasi untuk mengangkat sekeluarga kanker itu bukan main mahalnya. Ratusan juta. Sementara ayah sudah menggadai hampir semua harta miliknya untuk pengobatan ibu selama 6 bulan terakhir ini. Dan uang yang tersisa hanya cukup untuk mengoperasi 3 induk plus 8 anak-anak haramnya, sedangkan 4 sisa anaknya untuk sementara terpaksa hidup sebatang kara. Hanya sementara, karena bisa jadi jika terus dibiarkan salah satu dari mereka akan berkembang menjadi indukan baru.

Selepas operasi dan sesampainya di Medan, ibu segera dirujuk ke salah satu rumah sakit untuk dirawat inap. Harus ada penanganan serius dan berkala dalam menanggapi penyakit berdarah dingin nan lihai ini.

Lima belas hari kemudian ibu dipindahkan ke ruang ICU sebab kondisinya tidak kunjung membaik. Lebih parahnya kondisinya kian hari kian memprihatinkan. Satu minggu ini keadaan ibu kritis, tergolek tak berdaya di ruang ICU

Terakhir kali aku menatap ibu 7 hari yang lalu, tepat detak mesin monitor ICU masih bergelombang. Saat itu kupandangi seksama ibu, pemandangan yang sungguh memilukan. Tubuh yang sudah kurus kering kian kerontang. Sementara lehernya sudah membenjol sebesar bola voli akibat indukan baru muncul. Membuat bibir indahnya sulit bertutur. Tenaganya hanyalah sisa-sisa dari semangatnya untuk kami, keluarganya. Sangking tandas tenaganya hingga selang-selang dipaksa masuk ke rongga hidung ibu demi hanya untuk makan. Terjuntai seperti belalai-belalai pilihan kehidupan yang kejam. Cairan yang mengandung banyak kandungan material dialirkan paksa memasuki lubang hidung ibu. Terlihat sangat kejam, tapi hanya itu pilihan yang ada agar ibu tetap mampu bertahan. Setiap melihat kejadian itu aku selalu meringis.

Tidak banyak yang bisa kulakukan. Maka kuhibur ibu sebisaku. Paling tidak aku tak ingin menunjukkan raut wajah sedih di depannya, sebab aku tahu persis seperti apa watak ibu. Dia akan jadi lebih sedih jika melihatku demikian. 

Setiap pulang sekolah selalu kujenguk ibu, sekedar bercerita tentang apa yang terjadi di sekolah, apa saja yang kualami, tentang nilai-nilai yang didapat...apa saja, yang penting itu bisa diceritakan pada ibu. Semua celotehan itu dilakukan agar semangat ibu tidak kian surut. 

Sering kuputar lagu kesukaannya. Dulu setiap hari minggu saat membereskan rumah, selalu ia memutarnya. Sembari memasak diiringi lagu itu. Padahal lagu tersebut tidaklah tergolong lagu generasinya. Aneh, kutanya mengapa ibu sangat menyukai lagu tersebut. Ibu tersenyum dan menjawab ringan bahwa ia sangat menyukai liriknya.

Kuputar pelan volume lagu tersebut. Gemerincing suara piano mengantarkan alunannya. Not F sharp minor

...

Yakinkah ku berdiri, di hampa tanpa tepi

Lihat selengkapnya