Eunoia

Name of D
Chapter #4

Fragmen ke-3: Intelligence Quotient

Pada beberapa dekade belakangan ini suatu teori yang dirumuskan Francis Galton pada abad 19 tentang tingkat nilai kecerdasan manusia sedang sangat digalakan di instansi-instansi pendidikan. Salah satunya di SMA Mantap Jiwa tempatku bersekolah.  

Intelligence Quotient atau umumnya disingkat IQ kerap dijadikan suatu konsep tunggal atas indikator kecerdasan dan keberbakatan anak. Dari nilai tingkat IQ inilah dapat diprediksi secepat dan semampu apa anak tersebut untuk berkembang.  

Maka dengan demikian, secara langsung Intelligence Quotient adalah salah satu parameter encer tidaknya otak anak manusia. Tentu saja IQ sangat berkaitan dengan genetika dan DNA. Seperti saudaranya -Charles Darwin- pembawaan IQ bersandarkan konsep survival. Dalam bentuk lain, orang yang ber-IQ tinggi diidentikan sebagai para gen unggulan yang kapasitasnya di atas rata-rata. Dan yang ber-IQ rendah adalah sebaliknya. Para jelata.

Sesuai peraturan pemerintah, sekolah SMA Mantap Jiwa ingin menerapkan sistem ini. Bukannya bermaksud dikotomis, hanya saja pihak sekolah ingin menyaring gen-gen unggulan tersebut untuk dipacu menjadi pioner-pioner sekaligus garda depan sekolah dalam perihal prestasi antar sekolah. 

Jadi saat awal bersekolah, selepas orientasi siswa, diadakanlah suatu tes untuk mengukur tingkat nilai kecerdesan siswa-siswinya. Konon katanya tes ini juga memberikan gambaran sederhana IQ seseorang. 

Melalui hasil tes ini akan diambil beberapa siswa untuk ditempatkan di kelas unggulan sepuluh satu (X-I). Pada kelas sepuluh sisanya -sepuluh dua sampai sepuluh lima (X-II s/d X-V)- akan diacak. Alhasil dari tes, saat aku kelas satu dulu, aku dinobatkan sebagai salah satu dari para penyandang gen unggulan tersebut, paling tidak awalnya dikira demikian.

***

Hari pertama belajar di kelas sepuluh satu seperti biasa. Sangat formal dan normal. Masing-masing siswa mencoba beradaptasi. Saling berkenalan antara yang satu dengan yang lain.

Pada hari kedua, kegiatan pembelajaran belum berjalan sewajarnya, maka kesempatan ini digunakan untuk pendekatan lebih lagi.

Hari ketiga, mulailah aura ke-tidakberes-an terasa. Kami mendapat seorang guru wanita sebagai wali kelas. Namanya Bu Yuli. Umurnya menuju kepala lima. Dalam sekali lihat aku langsung paham akan kepribadian Bu Yuli yang eksentrik dan amat ramai.

Mungkin beberapa guru akan memilih untuk dipanggil Ummi, Bunda, Miss, atau Madam. Kesannya sangat membimbing dan mengayomi. Guru bahasa Jerman misalnya, senang dipanggil dengan sebutan Frau, terjemahan kata guru dalam bahasa Jerman. Setiap kali menyebut kata itu, terdengar amat elegan. 

Guru mandarin pun sama, Lauxie, kata guru dalam bahasa Mandarin. Guru karate juga demikian dipanggil Sensei. Bu Zairina, salah satu guru Badan Konseling yang baru dipindahtugaskan dari SMP Mantap Jiwa ke SMA Mantap Jiwa, amat senang dipanggil Bunda. Mencerminkan sifatnya yang keibuan.

Tapi berbeda dengan wali kelas kami yang satu ini, beliau guru Bahasa Indonesia, jadi tidak ada kata bahasa khusus dalam menyebutkan kata guru, Ibu Guru, selesai. Namun nyatanya, Bu Yuli lebih sumringah dipanggil dengan sematan Princess atau sebutan Nikita Yuli. Diambil dari nama Nikita Willy, artis cantik nan molek yang sempat bermain film-film sinetron layar kaca itu. 

Setiap kali Bu Yuli lewat, para siswa sepuluh satu seperti kemasukan jin penunggu sekolah. Berteriak histeris sambil mengeluh-eluh.

"Nikita Yuli! Nikita Yuli! Princess Yuli!"

Luar biasanya, Bu Yuli langsung merespon melambaikan tangan seakan menikmati setiap eluhan itu. Cara jalannya pun langsung bertransformasi bak model melenggang di panggung catwalk. 

Biasanya yang kerasukan tetua jin penunggu sekolah -tidak lain dan tidak bukan- adalah Joe dan Andal. Sebab memang merekalah detonator kelakuan-kelakuan absurd yang seperti ini.

***

Pagi menjelang siang, Bu Yuli masuk kelas. Akan ada pemilihan ketua kelas serta instrumen-instrumen pelaksana kerja kelas hari ini. Bu Yuli melenggang masuk, kelas hingar bingar, gemuruh tiada banding. Tidak lama berselang Bu Yuli mengangkat tangan, suatu simbol yang mengisyaratkan 'harap tenang'. 

Nah, disini hebatnya, tanpa banyak mengambil tempo semuanya senyap. Dari sini aku paham, kesan perintah akan menguat ke tahap kulminasi bila telah terjalin suatu kedekatan emosional. Bu Yuli memiliki ruang tersendiri di hati para penghuni kelas sepuluh satu. Meskipun kedekatan itu terjalin dikarenakan suatu hal yang terbilang absurd.

Tatapan Bu Yuli mulai mengitari seantero kelas, mengamati setiap sosok yang duduk. Lalu terhenti pada sebuah sosok di sudut kelas. Sesosok yang gayanya pongah dan mukanya sengak. 

"Kamu yang paling belakang, yang berkacamata, siapa nama kamu?" Jari Bu Yuli menunjuk gemulai.

Pria berkacamata itu pura-pura idiot dengan menoleh ke belakang seolah masih ada orang lain yang duduk di belakangnya. Jelas-jelas ia duduk di kursi terakhir dan di ujung kelas pula. Jika memang ada yang duduk di belakangnya bisa dipastikan itu bukan orang. Melainkan makhluk astral.

Lihat selengkapnya