Eunoia

Name of D
Chapter #8

Fragmen ke-7: Pengakuan

Perasaan ganjil yang timbul tempo hari akibat terpandang senyum Elvisa adalah misteri yang harusnya dipertanyakan pada sang hati. Apa yang membuatnya bisa bergetar labil. Bergolak pada zona instabilitas. Tidak terbayangku sama sekali. Ini akan jadi rahasia antara aku dan hatiku.

Pada akhirnya perasaan misteri itu kupendam hingga hampir pertengahan semester kelas 3 SMA. Tidak berani kuungkit-ungkit, tidak sedikitpun kupersoalkan.

***

Matahari sedang berjemur di atas jam dua belas. Kafilah angin menghilang, tidak terasa sedikitpun hawa keberadaanya. Aku duduk di pojokan depan kelas sembari merenung menikmati gerakan awan dan keterpakuan tetumbuhan. Orang-orang yang lewat sesekali melirik lalu lanjut berjalan. Terciumku satu per satu aroma parfum mereka. Hugo Blue milik Faisal, Master Collogne khas Kojek, Axe Chocolate sang susuk halal, daya letup pemikat bau kebanggan Joe. Tidak ketinggalan pula Paris Hilton dan Strawberry, aroma favorit kaum hawwa.

Aku duduk bersilah persis pengemis peminta-minta. Kadang teman-teman kebingungan kenapa memilih duduk di pojokan depan pintu. Joe sampai-sampai menghunus perkataan kejam agar aku pindah dari tempat itu.

"Macam tak terurus kau, Za!" Sambil menaruh uang receh di depanku.

Aku diam saja, menatapnya kaku. Lalu mengantongi uang recehnya. Jengkel, ia mengadu.

"Syafiraaaa! agak kau pelihara dulu ketua kelas kelen ni! Sedih aku ngliatnya." 

Bagaimanapun, menurutku ini tempat yang paling strategis. Baik untuk membaca, melamun, tafakur, maupun mengamati kalau-kalau Elvisa melintas. 

Selama ini aku tidak pernah punya kedekatan khusus dengan Elvisa. Baru-baru ini sajalah ada hubungan lebih dengannya. Bukan hanya dikarenakan peristiwa senyuman tempo hari, melainkan beberapa bulan belakangan kami sering diskusi dalam rapat, menyusun acara, kerja kelompok, saling bekerjasama selaku sama-sama pengurus ekstrakulikuler dan lain sebagainya. Serta Elvisa juga sering bersua dengan Syafira dan teman-temannya di kelasku. Sehingga tidak jarang aku bertatap muka dengan si peri hutan itu.

Tingkah ia akhir-akhir ini juga agak sedikit berbeda. Terasa lebih akrab. Padahal dulu ia tidak lebih dari sekedar teman dari temanku. Hubungan kami pun hanya bisa diungkapkan dengan kata sederhana "sekedar saling kenal".

Pernah satu waktu, aku membaca di tempat strategis nan istimewa itu, pojokan samping pintu. Beralaskan ubin dingin, tersandar di dinding berlatar putih. Elvisa lewat tepat di depan, berhenti, memandang sejenak dengan tatapan keheranan, lalu menendang tungkai kakiku. Kemudian lanjut berjalan seakan tidak berdosa sembari menjumpai temannya yang sedang berkumpul di kelas.

Pada kesempatan lain kadang pula Elvisa datang ketika aku sedang tertidur pulas di meja tempat duduk, sedang asik bermimpi mengawang-ngawang di nirwana khayal, mengambang, melayang-layang. Seketika jatuh lebur menghantam jasad dan hancur berkeping-keping tatkala Elvisa memukul kepalaku sebelum beranjak pergi ke luar kelas. Sesekali ia menganiaya, sesekali juga ia menggoda.

***

Sore hari, selepas adzan ashar, langit perlahan menjelma menjadi kelabu mendung diiringi dengan suara guntur menggelegar. Listrik padam, tirai kelas dilepas melambai begitu saja sehingga menghalangi sisa-sisa cahaya yang masuk lewat jendela. 

Awan-awan hujan tampaknya sudah bersiap-siap mengepung pelataran langit. Cahaya meredup, suasana menggelap. Terkesan mistis. Kelas sepi persis kantor lurah pas jam 12 malam. Hanya orang-orang yang ekskul saja yang masih menetap. Beberapa karena bosan di rumah atau memang lagi kosong kegiatan makanya masih berkomitmen di sekolah. Itu pun sebagian besar pergi sholat. Ada yang ke kantin untuk menstabilkan pikiran sembari mengisi perut karena lelahnya beraktivitas dan belajar. Paling hanya ada beberapa orang di kelas. Sedikit. Tidak banyak. Satu orang bergelut dengan alat-alat tulisnya. Dua orangnya lagi saling tawa dan berbagi cerita dan sisanya terkapar lemas di meja pembelajaran. Khayalnya terbang tinggi entah kemana.

Lihat selengkapnya