Eunoia

Name of D
Chapter #10

Fragmen ke-8: Animo

Langit dunia murung lagi. Awan berduka. Gelegak guntur sahut-menyahut dari setiap penjuru mata angin. Barat tenggelam. Semesta berkolaborasi memenjarakan matahari sedari fajar buta. Begitu terbangun aku merasa sangat merindu. Tersihir kejadian tempo hari. Terbius ingin menatap langsung lagi keanggunan mata Elvisa. Apa bisa pergi ke sekolah dalam cuaca kacau begini? Atap rumah saja meraung kesakitan, dihantami segerombolan air langit yang tumpah ruah habis memuntahkan penatnya pada sekujur pagi. Tampak jelas dari suara gemuruhnya yang seperti sekawan banteng.

Aku merasakan ada benih-benih rasa mulai tumbuh. Diam-siam ia sesap perhatianku. Menghisap pikiranku. Sedikit banyak aku mulai meyakini psikis Qais yang menggilai Laila benar adanya dan Cleopatra bukanlah legenda.

Semua gejolak dalam jiwa yang entah kapan ia mulai tertanam, membuat pikiran sering kali tumpat. Fokus ke satu diri, ke satu orang. Pada skala antara kebingungan, kebimbangan dan benih-benih rasa yang aneh, kupustuskan bersiap berangkat ke sekolah. 

Bisik-bisik sayup muncul di kepalaku. Cuaca hujan, melebat pula, pastilah tidur lebih asik. Ditambah lagi siapa juga yang mau datang ke sekolah tatkala deras hujan? Tidak ada! guru pun enggan ke sekolah jika sederas ini. Bahkan katak, hewan amfibi penggila hujan yang satu itu pun lebih memilih bersembunyi di kediamannya. Memang benar, kalau ditimbang-timbang lebih baik aku di rumah saja. 

Tapi siapa peduli! aku sedang kerajingan rindu. Jika berdiam diri di rumah kemungkinan berjumpa dengan Elvisa dipastikan NOL BESAR. Tapi jika ke sekolah presentasenya bisa meningkat, paling tidak 15%, jika dikira-kira. Sebenarnya itu hanya akal-akalanku saja. Cuma anggaplah demikian.

Kuambil jas hujan. Bersiap-siap menuju sekolah. Begitu membuka pintu teriakan angin langsung memekik. Hawa dingin menamparku secara sporadis. Air tumpah ruah, terserak kesana-kemari. Pecah tidak jelas arah. Mereka pikir mentalku bakal tumbang hanya dengan hal begini. Maaf saja niatku sudah bulat. Sebulat lingkaran yang digambar dengan jangka.

Dalam gemuruh kulangkahkan kaki bersama keteguhan tekad, membelah belantara hujan pagi yang kelam ini. Sepanjang perjalan tidak banyak orang yang tampak. Penghias jalan pagi ini murni di dominasi mobil-mobil. 

Aku sedikit merapat ke pinggiran toko kelontong, meneduh, menunggu angkutan kota lewat. Selang beberapa menit angkutan muncul dan aku langsung masuk. Hanya ada 4 orang di dalamnya. Aku, seorang ibu, seorang siswi SMA yang mungkin seumuran denganku dan Pak sopir angkot. 

Mengingat kondisi cuaca yang tidak bersahabat, hal ini wajar saja. Tapi... ada juga siswi yang hendak datang ke sekolah di kala hujan lebat macam sekarang. Pastilah ia siswi yang teramat rajin atau mungkin juga ia sedang kerajingan rindu sama sepertiku.

Sepanjang perjalanan, waktu seakan memanjang. Atmosfer mengembang menghasilkan zat koloid yang sedikit memanjakan mata, kabut. Kemudian terurai jadi bulir-bulir air, air dan mobil. Latar pemandangan hampir semuanya abu-abu. Dan tentu saja tambahan melodi derum angin dan hentakan air. Para pemainnya adalah kami yang duduk dalam angkutan. Aku, Pak Sopir, Ibu yang tidak tahu apakah masih gadis atau sudah janda, dan siswi yang cukup sedap dipandang. 

Kupandangi siswi itu. Entah kenapa makin lama dipandang wajah siswi itu semakin mirip dengan Elvisa. Aku tidak tahu apakah ia memang mirip dengan Elvisa atau cuma penglihatanku saja yang sawan gara-gara sedang kasmaran. 

Merasa diawasi tak lama ia mulai menggesar duduknya ke ujung belakang dan melirik-lirik ke sekitar. Namun diam-diam aku tetap sesekali memperhatikannya. Seakan bermelodrama, aku dan ia sesaat saling mencuri tatap. Lalu pada menit kesekian aku terkesima. Karena tiba-tiba perlahan tapi pasti ia masukkan jemari ke lubang hidungnya lalu mulai mengupil dengan khidmat. Range waktunya mungkin sekitar 3 sampai 5 detik.

Lihat selengkapnya