Menjelang semester dua di tahun terakhir, sebuah fenomena menarik muncul. Musola yang biasanya sepi mendadak ramai. Siswa-siswa kelas dua belas secara magis berubah jadi soleh. Yang setiap kali mendengar adzan seperti tunarungu, seketika jadi rajin sholat 5 waktu.
Para brandal yang tidak pernah mampu membedakan antara jam pelajaran dan jam istirahat, tiba-tiba mendapat hidayah, jadi insyaf, taat dan tekun berdoa. Yang hari-harinya tidak pernah sudi mampir kecuali ke kantin dan ruang badan konseling, tahu-tahu sekarang malah sebisa mungkin menyempatkan bersilahturahmi ke musola.
Musola di waktu dhuha seakan memendam harta karun, hampir semua siswa berbondong-bondong memadati. Faisal yang sudah rutinan sholat dhuha sampai tidak kebagian tempat.
Kojek, Joe, aku, Farija, dan Anu juga dihinggapi fenomena yang sama. Penyebab kami berlima hampir sebangsa. Lebih tepatnya alasan aku, Kojek, dan Joe saja yang bersaudara, yaitu karena sadar IQ kami tidak bisa dibilang tinggi alias defisit, dan pengetahuan kami yang hanya berada di garis ambang batas kewajaran. Sudah sepatutnya kami tahu diri, memperbanyak doa supaya Tuhan berkenan meluluskan kami pada Ujian Nasional.
Selepas dari musola dan kembali ke kelas, aku selalu mendapati Elvisa dan Syafira berkumpul di ruangan. Celakanya tempat duduk Syafira tepat di samping kursi dudukku. Jadi jika ingin bersantai di singgasanaku itu, mau tidak mau harus mendekat ke radius 2 meter di samping Elvisa dan teman-temannya.
Mulai dari langkah pertama saja aku sudah gentar. Semakin dekat, napasku makin bergetar dan salah tingkah. Kucoba untuk tidak acuh. Menjaga gelagat. Mengusahakan sesantai mungkin berjalan dan langsung melaksanakan ritual rutinan. Tidur.
Baru 2 menit menutup mata, ada saja yang mengganggu. Elvisa dengan nakalnya selalu membangunkan. Menyentil, menggoyangkan badan, menghembus telinga, mencabut rambut, dan yang paling iseng tapi aku suka, mencolekku culas.
Tampak dari tertawanya: satu oktaf lebih rendah, nakal, jahil, dan menggelombang naik turun di tangga nada minor harmonis. Jelas Elvisa menikmati apa yang dia lakukan. Syafira juga ikut ketularan, melakukan hal yang lebih parah, tanpa berdosa memukul kepalaku keras. Lalu terkekeh.
Sedangkan aku selaku korban cuma bisa mengendapkan rasa dongkol dalam-dalam. Kalau nanti aku membalas dendam, takut bisa-bisa terkena sanksi hukum. Melakukan tindakan tidak senonoh dan pidana dari Komisi Perlindungan Anak dan Wanita. Jadi aku pasrah saja.
Kelakuan Elvisa tanpa sadar membuat perhatianku semakin menghutan padanya. Tidak mudah menahan perasaan yang mulai berkecambah bahkan sudah mulai memekar sedikit demi sedikit. Kalau aku terduduk dan Elvisa lewat berkelebat, tanpa sadar mataku langsung membututinya dengan kerlingan cepat.
Jika berada dalam radius 2 meter, cara memandangku berubah jadi serupa burung hantu. Ke manapun Elvisa bergerak kepalaku mengikut hingga memutar. Tapi hanya 90 derajat. Terkecuali tulang leherku sudah patah, barulah bisa persis burung hantu sungguhan, berputar 180 derajat.
Setelah pulang sekolah, selalu cepat kukemas barang-barang -walaupun sebenarnya yang kubawa hanyalah peralatan tulis dan beberapa buku catatan, buku pelajaran kutinggalkan di laci agar tas tidak berat -sejujurnya aku malas saja membawanya pulang- dan segera bergegas ke luar gerbang. Demikian kulakukan supaya bisa berpapasan lalu menegur Elvisa. Sekedar menyapa, "Aku duluan ya, Elf."
Aku jadi bingung dengan diri sendiri. Mengapa bisa demikian. Benarlah kata penyair, jatuh cinta bisa membuat diri sering hilang kesadaran dan logika. Anggota badan seakan memiliki rencananya sendiri, bergerak sendiri, yang itu berada di luar perintah dan perkiraanku.