Senja mulai dilahap malam. Para burung buru-buru kembali ke sarangnya. Perutnya kenyang sehabis melibas padi para petani yang sudah jatuh miskin akibat lahannya kian hilang digerus hotel-hotel mawar, melati, raflesia arnoldi, dan hotel berbintang serta bangunan indekos anak kuliahan.
Sedangkan pak polisi tidak melihat tindak kriminalitas tersebut sebab masih sibuk mengatur lalu lintas di pertigaan jalan. Menilang sepeda motor yang disabilitas dan yang berpenampilan abnormal. Sembari koleganya mengangkut sepeda motor yang akte-aktenya imitasi atau lenyap ditelan bumi.
Aku mengamatinya dari atas kendaraanku dengan hati tenang. Lagakku pongah karena tidak ada yang perlu aku cemaskan; spion ada, Helm SNI, SIM dilaminating, sepeda motor baru, suratnya lengkap, bodinya kinclong, minyaknya full tank, bajuku rapi, serta aromaku semerbak mewangi. Penampilanku oke punya saat ini. Persis Will Smith di film I am Legend... saat ia meledakkan diri tapi.
Pada sore menjelang maghrib, aku hendak menghadiri pesta pernikahan temanku. Lebih tepatnya seniorku. Darwis Mustofa ibn Slamet Suanto namanya. Sering dijuluki dengan gelar Kadi. Bang Kadi Darwis. Lantaran teramat sering beliau menjadi biang percakapan seputar pernikahan serta sarana dan prasarananya. Kalau sudah bicara soal wanita dan berkenaan atau serupa hal itu beliau lah detonatornya.
Keinginanan menikah Bang Darwis sudah sampai titik kulminasi. Meski umurnya sekarang masih berjalan 24 tahun. Padahal di umuran segitu, tidak jarang masih banyak pemuda ingin bebas, mengejar karir atau berleha-leha dulu. Atau masih fokus menganggur sebab terjangkit malas kronis. Tidak ingin memusingkan tentang praha-praha rumah tangga. Bang Darwis malah sebaliknya. Sebab itu aku salut, keseriusannya untuk membentuk bahtera rumah tangga kuacungi 2 jempol kaki.
Pertama kali aku berjumpa dengan beliau saat sedang membantu Faisal dan anak BKM(Badan Kemakmuran Musolah) menyiapkan acara rutinan tahunan pesantren kilat sekolah Mantap Jiwa. Ini hal yang biasa di stambuk kami, meski berbeda ekskul satu dengan yang lainnya masih saling bahu-membahu.
Sekarang mungkin anggota BKM yang meminta bantuan kami untuk turut berpartisipasi. Di lain waktu kami lah yang meminta mereka untuk ikut ke acara kami. Simbiosis mutualisme.
Umumnya kami mengemis pertolongan agar ada yang mau jadi penonton bayaran atau pemain cadangan. Komisinya kami berikan selepas acara usai berupa air mineral kemasan. Kalau masih kurang, kami berikan tunjangan tambahan berbentuk senyum manis dan keramah-tamahan kami para anggota basket. Asal tahu saja, keramah-tamahan kami merupakan barang mahal nan eksotik. Tidak sembarang orang bisa merasakan, apalagi memilikinya.
Seperti yang telah kuinformasikan, kalau anggota ekskul basket hanya 5 orang. Pas-pasan. Hidup segan mati tak mau. Sering kali ada pertandingan yang mengharuskan melebihkan personel lebih dari 5 orang. Disitulah kami meminta tenaga bantuan dari ekskul lain. Dari kesemuanya, yang paling siap sedia dan becus bermain ialah anak BKM.
Tapi bagaimanapun aku tetap sangat banyak berterima kasih kepada yang lain yang telah sudi bersedia membantu. Basket merupakan olahraga ketelatenan dan kerja cepat. Seberbakat apapun seseorang bermain, jika tidak sering bersinggungan langsung dengan latihan, pasti akan kewalahan. Aku maklumi itu.
Nah, kala itu Bang Darwis lah salah satu pembina BKM. Ia juga penghobi Basket. Maka tidak sulit bagi kami untuk mencari perbincangan yang menarik antara yang satu dengan yang lain. Semenjak itulah komunikasi terjalin. Dan lama-kelamaan hubungan kami amat dekat. Kami dengannya layaknya teman sebaya, meski sebenarnya dia lebih tua beberapa tahun.
Bang Darwis sering mengungkapkan isi hatinya, tentang bagaimana ia sudah sangat sesak ingin menikah. Tentulah aku tidak benar-benar paham dengan maksud perkataanya saat itu. Maksudku, aku belum benar-benar paham tentang apa yang sedang dirasakan bang Darwis.
Namun sekarang keluh kesahnya usai sudah. Ia menikah. Setelah beberapa usahanya dulu menemui beberapa benturan. Di mana dirinya pernah ditolak 12 kali, itu angka yang cukup banyak jika dikaitkan dengan penolakan. Orang pasti banyak mengira kalau ditolak 12 kali itu sudah cukup sial. Tapi tidak, cobaan itu belum selesai. Itu hanyalah mukaddimah atas ujian yang selanjutnya.
Pernah hubungan asmara Bang Darwis digantung bak tali jemuran, 2 kali. Tidak jelas mau atau tidaknya wanita itu dipinang. Penuh ketidakjelasan. Menurutku hubungan jenis inilah yang paling tidak mengenakkan, mau maju tidak bisa, udah mentok. Hanya bisa menunggu apakah akan dibukakan jalan ke pelaminan atau tidak. Jika mau mundur, sayang, masih belum dijawab, mengais-ngais harapan.
Sempat juga Bang Darwis diterima wanita 2 kali. Namun sayangnya hubungan tersebut tidak disetujui oleh orang tua si wanita. Jadi secara langsung dia tetap ditolak. Maka jumlah total semuanya 16 kali hubungan karam.
Namun sekarang semua letihnya terbayar sudah. Siapa yang tidak iri dengannya hari ini. Lelaki yang hatinya pernah patah, remuk redam, hancur berkeping-keping itu telah menemukan takdirnya di hubungan yang ketujuh belas. Semua kejadian penolakan yang pernah dialami, sekarang telah tersintesis. Tak lebih hanya berupa sekedar kisah masa lalu yang membiaskan pengalaman dan pelajarannya sendiri.
***
Handphoneku berdering berkali-kali. Misscall dari Kojek. Aku, Joe, Faisal dan Kojek sudah janjian berjumpa di pesta Bang Darwis pada jam yang disepakati.
Pukul 17.54 Kojek sms.
Kojek: Dimana posisi, Za?
Aku: Di 3,5° Lintang Utara, 6,3° Lintang Selatan. 4,8° Bujur Timur. 7,2° Bujur Barat.