Tabir-tabir senja tak ubahnya spektrum cahaya jingga yang menyebar di belantara semesta. Menghambur ke mana-mana lalu terhempas kembali menuju ruang hampa. Menyelam dengan debu-debu kosmik angkasa, kemudian mereda.
Persis itulah kebanyakan perjalanan cinta. Awalnya menggebu-gebu, menyiar kabar ke seantero mayapada. Seakan dunia milik mereka berdua, sedangkan yang lain hanya budak belaka. Lalu lama-kelamaan meredam, senyap tak bersuara.
Namun ada pula yang sebaliknya. Sunyi di awal kisah, tapi riuh di akhir cerita. Mungkin bagian perjalan cinta ini yang sedang menghampiri Syafira sekarang. Beberapa hari lalu ia mendapat kiriman sebuah puisi dari orang tidak dikenal. Beberapa hari kemudian puisi yang kedua menyusul. Lalu keesokannya ada gantungan kunci pedang Zanpakuto serial anime Bleach di laci meja Syafira. Sekali tebak aku langsung paham bahwa sang pengirim tidak memiliki kepekaan, unsensitive. Syafira sendiripun kebingungan dengan gantungan kunci itu. Bukan karena tidak tahu siapa pemberinya, tapi dikarenakan aneh melihat bentuknya. Tidak heran.
Siang hari, saat asik terlelap di kelas, Syafira tiba-tiba membangunkanku. Tidak seperti biasanya yang memakai cara zolim, menepak keras punggung atau kepala. Kali ini lebih halus, menepuk-nepuk pundakku.
"Siapa ya?" Tanyaku curiga.
Syafira memicingkan mata, menatap tajam.
"Apanya kau, Za? Belum terkumpul nyawa kau ni!" Menggerutu sesuai kebiasaannya.
Sekarang baru aku yakin ini Syafira. Perlahan ia duduk di sampingku. Geraknya halus, tenang bak angin padang savana. Diam sesaat, lalu mengkerlingkan mata. Tidak berhenti sampai di situ, Syafira sedikit memiringkan kepala dan menunjuk pipinya dengan telunjuk. Tersenyum manis dengan pose yang imut-imut. Macam kena tenung. Sikapnya lain dari biasanya. Kuharap ia tidak mengalami ganguan bipolar.
Kalau tingkahnya begini berkelanjutan sampai akhir hayat, pastilah suatu keberuntungan luar biasa bagi yang bisa mendampingi Syafira kelak.
"Jangan kau liat-liat aku, Za. Suka nanti kau!"
Aih, benci betul rasanya, baru tiga detik persepsi itu runtuh. Menguap. Tidak bisakah sejenak ia biarkan aku menikmati momen langkah itu, yang dalam tiga bulan sekali belum tentu terjadi. Semua kesan indah dia hancurkan hanya dalam interval waktu tiga detik.
"Coba kau liat kertas-kertas ini. Kira-kira dari siapa ya, Za?"
Sudah sering Syafira bertanya seperti ini. Awal mulanya karena aku hafal hampir semua aroma teman-teman. Tajam, halus, menyengat, anyir, lembut, keras, kental, wangi sabun, kemangi, bau tanah, berbagai macam raksi bunga, serta aneka bau badan. Ada khasnya masing-masing. Beberapa kali aroma pemilik barang yang tercecer masih tertinggal di benda tersebut. Walaupun terkaanku tidak selalu tepat.
Bagi Syafira mungkin aku sudah setaraf anjing pelacak. Entah ini hal yang harus dibanggakan atau malah aib yang semestinya disembunyikan.
Dua kertas dan satu gantungan kunci pedang Zanpakuto. Kertas pertama berisi penggalan puisi yang sudah kukenal sedari dulu. Milik si Burung Merak, penyair W.S Rendra.
Kau tak akan mengerti segala lukaku
Karna cinta telah sembunyikan pisaunya
Membayangkan wajahmu adalah siksa
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan