Tanggal 10 Februari, harusnya kedudukan semu matahari masih berada di belahan bumi selatan. Kafilah angin, Sang Muson Barat tengah melintas di Samudra Pasifik menuju kawasan Asia. Bergerak cepat menggiring uap-uap air ke dataran Australia. Menetap, kemudian memutar haluan kembali ke Laut Cina Selatan di pertengahan bulan Maret nanti.
Hari ini intensitas uap air di udara lebih rendah dari yang lalu-lalu. Harinya cerah padahal masih musim penghujan. Cahaya sore yang menerobos dari sela-sela belukar awan bagaikan lintasan gerbang menuju alam yang berbeda. Sangat pantas untuk dikagumi.
Sehabis latihan parkour, olahraga halang rintang panjat gedung persis Spider-man, aku termenung. Surat puisi yang didapatkan Syafira membuatku sedikit berpikir tentang perasan yang sedang kualami. Jatuh cinta...ah, perasaan kompleks ini haruskah kuungkapkan pada Elvisa, atau lebih baik dipendam dalam-dalam, diendapkan begitu saja, membiarkan waktu mengambil alih berkuasa atasnya. Apakah akan menghilang atau masih sama. Atau lebih parah, cinta ini makin bertambah.
Akhir semester sebentar lagi. Selepas SMA belum tentu aku masih bisa bertemu dengan si peri hutan itu. Kuliah, mengejar cita-cita dan perasaan yang berkecamuk dalam hati ini...aih, entahlah, tak bisa kubayangkan.
Setidaknya beberapa bulan terakhir aku masih bisa menikmati setiap detik dan momen saat bertatap muka dengan Elvisa. Mungkin tinggal tiga bulan. Februari, Maret, April. Waktu memang selalu konstan, tapi untuk ukuran pertemuan, tiga bulan itu singkat.
Tanpa kusadari lama-kelamaan aku jadi terbiasa dengan rasa kehilangan. Setiap kali emosi mendalam, menarik rasa ingin memiliki, selalu saja bayangan-bayang perpisahan berdiri tipis di belakangnya. Lalu aku memprediksi, entah itu kesialan atau keberuntungan, biasanya jadi kenyataan. Hingga akhirnya, sekarang begitu dekat dengan material yang disebut perasaan kecewa. Sungguh mekanisme keakraban seperti ini memilukan.
Ponselku bergetar. Satu pesan masuk.
Apa kabar, Eza?