Untuk menjadi ketua kelas tidaklah mesti paling pandai diantara para anggotanya. Tidak juga harus memiliki kemahiran khusus dalam suatu bidang pelajaran tertentu.
Namun meski demikian, berperan sebagai ketua kelas tidaklah mudah. Bahwasannya hal pertama: yang paling penting dari menjadi ketua kelas ialah dapat cerdasnya ia dalam mengkordinasi seluruh anggota. Sebab bila guru tidak masuk, ketua kelaslah yang bertanggung jawab dan menjadi perpanjangan tangan sang guru.
Lalu yang kedua: mampu memanfaatkan secara maksimal setiap kelebihan dari masing-masing anggotanya. Semata-mata agar tidak ada anggota yang disalahtempatkan dan tersalahgunakan.
Dan yang ketiga: pandai beretorika dan karismatik. Sebab pastilah ketua kelas akan sering berurusan pinjam-meminjam peralatan elektronik dengan pihak pegawai.
Ciri keempat ialah tegas dan amanah. Dari semua ciri, inilah yang paling sulit. Kenapa? karena jika mata pelajaran kosong, pastilah -sepasti bisikan setan- ketua kelas akan dihasut anggotanya sendiri untuk berkhianat terhadap amanat guru. Supaya bermalas-malasan dan enggan belajar. Kemudian diprovokasi untuk bernegosiasi dengan pihak pegawai agar dipinjami infokus. Tidak lain bertujuan amat mulia, agar penghuni kelas bisa menonton film. Biasanya kata menonton mereka ubah ke frase yang lebih lembut dan lebih meyakinkan, "mengamati film". Cerdik betul.
Serta ciri terakhir yang harus dimiliki ialah rela pulang paling akhir lantaran harus mengawasi setiap anggota yang piket.
Dari seluruh ciri aku hanya memiliki ciri yang kelima. Karena itu aku menjadi ketua kelas. Mengapa bisa begitu? Jangan tanya aku, tanya ke mereka yang memilihku. Ketika terjadi pemungutan suara, aku sedang tafakur di kamar mandi. Tatkala kembali ke kelas tahu-tahu Pak Yono langsung menobatkanku sebagai ketua kelas.
Pada papan tulis tertera nama: Tereza Gibran Arkam memenangkan 23 suara dari 38 suara yang ada. Yang benar saja? Padahal kandidat saingan adalah Damirsyah -ketua kelas saat masih di kelas 11 IPA 2- dan juga M. Tri Kurniawan - Sang Ketua Osis-. Dengan dua kali lihat saja orang langsung paham kalau kelima ciri di atas ada pada mereka berdua. Kepemimpinan mereka telah teruji. Itu belum lagi kalau dipertimbangkan perihal ketampanan dan total kekayaan ayah mereka. Sekali senggol aku pasti langsung putus. Aku tidak habis pikir.
Baru akhir-akhir ini aku menemukan jawabannya mengapa demikian. Ternyata 25 suara itu tertumpah akibat ulah provokasi Kojek. Dia iklankan aku dengan sangat hiperbolis alias berlebihan. Lucunya teman-teman percaya.
Tapi sedikit tidak heran teman-teman bisa percaya. Retorika Kojek memang kelas atas kalau lagi serius. Belum lagi ditambah kemampuan membualnya yang mengagumkan. Jika kemahirannya ini terus dipupuk pastilah kelak dewasa ia akan mudah saja menjadi politikus atau anggota parlemen yang kalau disorot kamera pasti tampak sedang tertunduk tafakur meratapi dosa-dosa.
Orang-orang yang tidak kenal dekat dengannya memang agak sulit melihat sisi itu. Demikianlah Joe yang sudah mengenal Kojek luar dalam menjadikannya Humas di Tim Basket. Bila bernegosiasi dengan pihak sekolah dialah ajudan Joe.
Saat jam Istirahat Kojek mengajakku bicara empat mata. Tidak biasanya ia begini. Aku was-was, mungkin berita tentang hubungan antara Aku dan Elvisa sudah sampai ke telinganya. Jika iya, habislah aku jadi bulan-bulanan ejekan.
"Ada rahasia yang mau kubilang, tapi jangan kau sebar ke siapa-siapa ya?" Kojek berbisik-bisik.
Tidak janji. Tergantung rahasianya. Jadi aku menggelengkan kepala.
"Oke, aku anggap itu jawaban iya."
Inilah yang selalu terjadi, jika dia bertanya, apapun yang dijawab memang tidak ada gunanya. Amat kusayangkan energi yang keluar saat menggelengkan kepala. Setidaknya ada 6 ATP yang hilang untuk menggelengkan kepala tadi. Sangat disayangkan energi sarapan pagiku harus terbuang percuma.
"Tapi jangan kau terkejut."
Dibatasinya kupingku dengan kedua tangan lalu ia berbisik, "Aku ditembak!"
Suasana hening. Aku diam bergeming.
"Ditembak, Za! Permintaan pacaran sama aku!" Menunjuk-nunjuk dirinya dengan jempolnya sendiri.