"Peribahasa bilang, sepandai-pandainya menyimpan bangkai, baunya pasti akan tercium juga." Ungkap Syafira kesal.
"Masalahnya, Fir, yang dirimkan ke kau bukan bangkai. Tapi potongan-potongan puisi. Satu-satunya bau yang bisa diterawang cuma dari kertas itulah. Agak sulit, Fir."
Hari ini Syafira mendapatkan potongan puisi lagi. Pengirimnya masih unknown. Syafira terus bertanya tentang perkembangan kasus yang menimbulkan banyak korban perasaan ini -perlu digaris bawahi "perasaan ini" maksudnya perasaanku-. Pertama kalinya Syafira penasaran sampai segitunya. Tak biasa-biasanya.
Awalnya kukira mungkin karena Syafira penasaran siapa sosok pengagum rahasia itu. Seorang romantis yang sudi menyelipkan berbagai rupa puisi di laci mejanya. Rupanya bukan itu, Syafira malah menganggap ini sebagai tindakan teror. Adrenalinnya menggelegak katanya, ingin mengungkap kebenaran di balik surat-surat puisi yang beraroma lembut tapi menusuk itu. Gara-garanya aku terus didesaknya.
Dari sini aku malah merasa iba dengan Mr.Unknown, sang pengirim surat. Perasaan yang selama ini dipendamnya malah dianggap Syafira sebagai tindakan terorisme. Kejam sekali.
***
Siangnya, Faisal dan semua anggota basket, yang berarti itu aku, Joe, Farija, Kojek, dan Anu hendak berkumpul membahas tentang penampilan di acara pentas seni nanti. Serta perkara dokumentasi ekstrakulikuler masing-masing. Titik kumpul di rumah Farija.
Kojek minta dijemput, mau pergi bersama katanya. Jadi aku datangi ke rumah yang memang terbilang tidak jauh. Karena biasanya juga aku yang meminta boncengan dengannya.
Kojek: Bentar, Za. Aku pake baju dulu ya.
SMS darinya. Sedangkan aku berada di luar pagar rumah. Menunggu dengan penuh kesabaran.
Seiring Kojek mendekatiku, wangi semerbak mencuat. Berbeda dengan Master Collogne yang biasa ia pakai. Kali ini aromanya lembut dan sedikit menusuk. Pernah kuhirup aroma ini.
Kusentuh baju Kojek. Kering. Tidak ada keringat. Bukan aroma feromon tubuhnya. Berarti wangi parfum.
"Boy...semenjak kapan kau pakai parfum?"
"Oh, ini!" Melirik bajunya, "Sesekali bolehlah wangi abangda kau ni, Za."
Kojek belum paham maksud pertanyaanku.
"Maksudku, uda lama kau pake parfum ini?"
"Lumayan lama. Tapi nggak sering kupake. Sesekali aja. Syarat pemikat." Nadanya tengil.
Satu garis lurus langsung membentuk rangkaian puzzle-puzzle kosong dari peristiwa surat puisi Syafira yang belum terjawab. Puisi, kata-katanya, gaya dan bentuk tulisannya. Pantas rasa-rasa tidak asing.
"Boy, cak kau tatap mataku dalam-dalam!" Ada yang harus dipastikan.