Seseorang pernah berkata bahwa penghargaan terhadap sesuatu akan mencapai puncak setelah kita pernah merasa kehilangannya. Apa yang kurasakan memang demikian.
Dulu aku tidak merasa betapa manisnya sebuah tanya dari seorang ibu, walau hanya sekedar ucapan: sudah makan? Apa kegiatan di sekolah? Jangan terburu-buru makannya? Hati-hati di jalan! Dan beribu tanya yang mungkin dianggap remeh-temeh. Entah dikarenakan saat itu belum kehilangan ibu atau karena memang aku masih bocah ingusan yang tolol tak terbilang.
Sekarang, baru kurasakan betapa nikmatnya orang yang masih mampu mendengar suara tanya itu semua dari merdu ucapan ibunya sendiri. Adakalanya suatu saat nanti pertanyaan remeh-temeh itu akan sangat dirindukan ketika dia benar-benar menghilang dari muka bumi.
***
Kali pertama mengantar Elvisa ke rumahnya bagiku sangat menegangkan. Baik secara harfiah maupun rasa. Bahwasannya saat itu kami tidak langsung mengarah ke rumah. Melainkan ke sebuah pemancingan umum. Lalu apa yang kami lakukan di sana? Bukan apa-apa, hanya menjumpai ibu Elvisa.
Hatiku berdesir, canggung dan bingung harus apa. Baru bergerak setelah Elvisa memberi sandi untuk menyalim ibunya. Pertama kalinya aku menyalim calon mertua. Hehehe...tidak apalah sedikit berangan, mengapresiasi hati sendiri, apa salahnya. Kemudian Elvisa berpesan untuk menunggu sebentar.
Kutunggu duduk di balkon panjang. Terbuat dari bambu. Tampak tua, tapi masih kokoh. Ada seorang pria paruh baya duduk tepat di hadapanku. Wajahnya tegas persis TNI berpangkat KOPRAL. Di pipi kanannya suatu benda tertempel, entah itu chocochip atau tahi lalat, tidak terlalu jelas bila dilihat dari posisiku. Bajunya rapi bersih bak pengusaha properti yang lagi naik daun. Karena beliau orangtua dan aku pun pendatang, tak ada salahnya menyalami beliau. Lalu kembali duduk di posisi semula.
"Siapa namamu, nak?" Suaranya nyaring. Mengingatkanku pada Ayah.
"Eza, Om. Tereza." Nadaku lugas.
"Nganter Eci ya?" Sambil tersenyum.
Apa maksud senyum itu? Dan ia juga memanggil ElvisaEci.
Kuinggat Eci sebutan istimewa Elvisa. Aku kira sebutan itu berasal-muasal dari teman-temannya yang terpincut boyband Korea. Ternyata salah, orang sekitar rumahnya pun memanggil sebutan imut-imut begitu.
"Ya, Om!" Nadaku tengik tanpa sadar. Aih, gawat. Aku terbawa emosi diri. Orang yang baru jadian memang sering sombong macam aku ini. Tapi hal tersebut sepatutnya tak layak untuk ditiru.
"Kamu teman dekatnya Eci atau pacarnya?" Tanyanya makin menjurus.
Sedikit bingung. Apa bisa dibilang dekat. Berberapa hari lalu dia hanya teman dari temanku. Sekarang...bolehkah ia kusebut kekasih. Perutku gatal kalau berucap kata itu.
"Ya, Om. Saya...." Apa yang harus kujawab.
"Pacarnya, Om."
Ekspresi wajahnya berubah. Memandangiku tajam. Melirik dari atas sampai bawah lalu ke atas lagi semacam hendak mengurai seluk-beluk tubuhku. Kemudian tersenyum yang entah apa maksudnya.
Tidak lama Elvisa datang dan berpamitan dengan lelaki paruh bayah yang punya ornamen choccochip di pipinya itu. Aku juga sama, mengucapkan salam dan permisi pergi.
Belakangan hari barulah terungkap, siapa lelaki itu. Beliau bukan penguasaha properti, bukan pula distributor chocochip. Itupun setelah ada pengakuan dari Elvisa. Pengakuan yang mebuatku merinding sekaligus tersenyum sampai gigi kering.
"Eza, tau nggak? Tadi malam ayah nanyain gini... Eza itu siapa?"
Ayah? Yang mana.
"Ayahmu, Elf? Emang pernah jumpa?"
"Loh! Yang kemarin sempat pernah kau salam. Itu Ayah."
Wajahku tempias. Kakiku lemas. Dilematis. Kusesali sikap tengik waktu itu.