Eunoia

Name of D
Chapter #28

Fragmen ke-26: Gelang Hitam Keterikatan

Waktu berdenting lambat. Seumpama udara meski sering diabaikan, ia tetap melaju. Sementara jauh melebihi atmosfer tertinggi, matahari yang tidak tergoyahkan mulai tergelincir. Tiba masa tahtanya digantikan oleh makhluk yang lebih anggun. Purnama...itulah makhluk indah nan jelita itu. Berjalan pada karpet-karpet mewah bintang-gemintang, naik ke langit malam memamerkan pesonanya tatkala gelap menyeringai mesra. Kami di bawah naungannya meresapi pemandangan alam dari balik jendela bus sebagai penghibur pembuka akan perpisahan kami dengan sekolah tercinta.

Sesampainya di hotel aku terkesima. Dengan budget ala kadarnya guru-guru masih bisa memesan hotel sebagus ini. Rancangan desain model etnik modern dengan latar putih yang menambah kesan megah. Dinding-dinding kaca bersaf-saf senantiasa ditembus terang rembulan. Halaman yang menjorok langsung ke danau hasil kreasi letupan gunung vulkanik luas membentang. Mengimprovisasi suasana hati hingga ke titik pukau. Danau Toba menjelma jadi cermin raksasa untuk merefleksikan betapa sombongnya rembulan malam ini.

Turun dari bus, guru langsung membagikan kunci kamar pada para siswa. Perpisahan sekolah kali ini dirancang amat rapi. Bukan isu belaka bila disebut guru-guru sudah expert menangani hal-hal yang semacam ini. 

Sebelum acara dimulai, setidaknya ada sedikit waktu untuk bersantai, istirahat dan persiapan. Selang waktu itu Elvisa memintaku ke kamarnya. Bukan apa-apa. Dan jangan berpikir yang macam-macam. Hubungan kami tidaklah sebusuk itu, kawan. Elvisa hanya sekedar ingin memberikan makanan favoritku. Sambal kaum ikan suku Engraulidae, bangsa teri yang sudah merenggang nyawa di penggorengan. Aku keringat dingin. Cita rasa masakan Elvisa masih belum bisa kulupakan sampai saat ini. Tapi bagaimanapun aku suka. Karena ini pertanda betapa Elvisa memperhatikanku. Perhatian sungguh menyenangkan.

Sebelum acara inti, masing-masing kelas berkumpul di salah satu kamar siswa. Acara ceremonial terakhir setiap kelas masing-masing. Kelasku, Kojek dan Anu mengadakan tukar kado. Kesemua kado digabungkan di tengah lingkaran. 

Diawali oleh wali kelas tercinta kami, Pak Yono yang membuka sesi acara. Memberikan sedikit nasehat, kesan dan pesan. Kemudian mengambil salah satu kado yang sudah kami kumpulkan di tengah lingkaran. Lalu memberikan pada salah seorang murid yang dianggap beliau paling spesial. Paling spesial? Ya tentu, karena nyatanya di mata Pak Yono kami semua adalah murid spesial. Termasuk aku yang tak seberapa ini.

Kemudian murid tersebut tadi mengulangi apa yang dilakukan Pak Yono, begitu seterusnya dan selanjutnya. 

Hingga giliran ketiga jatuh pada Anu, diberikan oleh seorang wanita. Oop, kode keras. Anu berterima kasih dan memberi kesannya. Mengambil satu kado dan melirik ke semua orang. Ronah wajah sebagian wanita memerah, berkaca-kaca penuh harap. 

Tidak heran, Anu memang terkenal keren. Tidak banyak yang tahu tentang sebagian sarafnya telah korslet hingga bisa menemukan teori-teori abnormal dalam kehidupan yang nampak-nampaknya normal ini. Satu-satunya saingan Kojek dalam hipotesis irasional.

Ia tampak bingung. Lalu tersenyum tatkala melihat seseorang yang persis di hadapannya. Hati para wanita itu luruh seiring dengan Anu menghadiahkan kado pada orang yang dianggapnya spesial.

"My Bro, Tereza Gibran Arkam." Sambil menepuk-nepuk pundakku.

Ingin mengucapkan maaf pada wanita-wanita itu. Tapi tidak jadi. Dalam hati saja kukatakan. Maaf, karena hidup memang tidak selalu sesuai ekspektasi, kawan. Kalian harus terbiasa.

Kusampaikan sepatah-dua patah kata. Melanjutkannya dengan mengambil kado yang paling besar. Isinya pasti menggiurkan, itulah bisik ketamakan dalam pikiranku. Pada siapa hendak menghadiahkan kado ini? Niat di awal tadi ingin kuberikan ke Anu. Tapi sekarang sudah tidak bisa. Ia sudah dihadiahi orang lain.

Ketika terpandang Kojek aliran listrik menjalar ke pikiranku. Menghidupkan bola lampu yang sedari tadi kurang arus. Satu ide muncul.

Saat kudekati mimik mukanya penuh haru. Mengetar-getarkan kepala seperti enggan jika aku yang memberinya hadiah. 

Senyum menyeringai manisku keluar. Isyarat: Tenang kawan, aku ada rencana.

Kuberikan hadiah itu pada Kojek dengan takzim dan memeluk hangat dia seraya berbisik.

"Boy, ini kesempatanmu. Kasih hadiahnya ke Syafira. Usaha terakhirmu, Boy."

Mendengar itu semua, Kojek menghirup nafas dalam-dalam. Bisa kurasakan perasaan emosionalnya. 

Lihat selengkapnya