Tidak seperti malam-malam minggu yang lalu, sekarang setiap malam minggu selalu kuhabiskan bersama Joe dan yang lainnya untuk berbincang dengan Bang Gilang dan Bang Darwis.
Bang Gilang rupanya lulusan salah satu Sekolah Tinggi Agama Islam terkemuka. Harusnya tahun ini ia berangkat ke Mesir untuk melanjutkan study. Hanya saja terkendala beberapa masalah yang menyebabkannya harus menunda keberangkatan beberapa bulan kedepan.
Biasanya kuhabiskan sepanjang malam minggu berbincang dengan Elvisa. Sekarang harus kucuri-curi waktu untuk membalas pesannya via sms. Asal tahu saja, ini agak sulit. Satu sisi aku sudah janji pada Joe, Bang Gilang, Bang Darwis dan yang lainnya. Namun di sisi lain aku juga ingin mengobrol dengan Elvisa. Ditambah lagi aku sadar apa yang dilakukan Bang Darwis dan Bang Gilang itu baik. Jadi yang bisa kulakukan saat ini banyak-banyak meminta maaf pada Elvisa karena hanya bisa menemaninya bertukar pesan, paruh waktu pula.
Apakah Elvisa terima? Seperti umumnya kebanyakan wanita. Mengatakan, "Nggak apa-apa..." yang sejatinya memiliki substansial makna yang enigmatis. Dari nadanya aku tahu ia ingin mengatakan keberatan, tapi ia coba simpan.
***
Pada hari minggunya Elvisa mengajak menonton. Tampaknya moodnya sudah pulih. Setidaknya itu yang pertama terlintas di benakkudan beruntungnya hal itu benar.
"Ayolah, Sayang."
Sebenarnya hari minggu ini ada yang harus diselesaikan. Tak mengapa lah, lain kali pasti ada waktu. Jarang-jarang Elvisa meminta padaku.
"Berdua aja kan?"
"Nggak, berempat sama Syafira, sama Dyta juga, hehehe." Madness smile menari-nari di wajahnya. Senang betul ia bisa mengerjaiku.
Elvisa duduk samping kiriku saat di bioskop. Sebelah kananku Syafira. Posisi yang strategis. Jarang-jarang aku diapit dua prempuan yang cantiknya minta ampun.
Film yang ditonton ada gambar pohon raksasa yang berjuntai-juntai. Tengahnya bertuliskan Jack and Giant Slayer. Berhubung film yang ingin ditonton saat itu sudah ditarik dari peredaran. Yah, secara acak kami memilih film ini.
Sejurus kemudian lampu dimatikan, suasana gelap. Syafira dan Dyta menonton dengan khidmat. Aku...tidak bisa. Jantungku berdebar-debar. Sesekali setan berbisik di telingaku. Ampun aku dibuatnya.
Setiap kali di layar tampak adegan berciuman, Elvisa selalu melakukan tindakan yang membuat pipiku memerah. Ia menutup mataku dengan tangannya, seolah melarangku melihat tindakan berbahaya itu. Lantas dari mana aku tahu itu adegan ciuman? Karena masih bisa kelihatan dari sela-sela jari Elvisa. Hehe, nakal sekali.
Sepulangnya kami singgah untuk makan. Syafira yang memilih tempat. Lantai dua, lasehan pula. Pintar betul mantan sekretarisku itu.
Elvisa tiba-tiba mau menyuapiku. Aih, malunya aku bila Elvisa menyuapiku di depan orang lain. Tapi sedetik sebelum makanan itu masuk ke mulut, senyum itu muncul di wajah Elvisa, madness smile. Barulah kusadar saat kucium aromanya. Ada daun kemangi yang disisipkan disuapan itu.
Aku suka aroma daun kemangi, tapi tidak untuk rasanya. Cukup sekali saja memakan daun kemangi seumur hidupku dan rasanya amat mengerikan.
"Ayolah, Sayang. Sekali aja." Bujuknya horor.
Jelas-jelas Elvisa tahu kalau aku benci tiga per empat mati dengan rasa daun kemangi. Niat betul ia mengerjaiku.
"Elf, janganlah. Itu makanan terlarang."
Lebih baik Bejita datang ke bumi dan aku ditinggal di Planet Namek itu lebih baik. Dari pada harus memakan daun kemangi.
"Saaayaaanng." Ucapnya kian manja.
Mukaku memelas. Memohon belas kasihan.
"Sekali aja." Suapannya siap-siap lepas landas.
Sekonyong-konyong Syafira menimpali.
"Iya, Za. Sekali aja. Tega kau liat Eci nunggu."
Dasar, memang miriplah kau sama Kojek, Fir.
"Buka mulutnya." Bujuk Elvisa makin menjadi-jadi.