Tiga malam ini istri Bang Darwis tidak di rumah. Kenapa? Aku tak tahu dan nggak mau tahu. Tidak ada urusannya samaku soalnya. Bang Darwis menawarkan Bang Gilang untuk menginap di rumahnya saja sepulang ngaji, jadi beliau tidak perlu pulang ke Binjai malam-malam. Sedangkan aku diakuisisi Bang Darwis untuk mau ikut menginap, biar suasana tambah ramai katanya. Makin riuh lagi karena Kojek dan Joe juga ikut-ikutan menginap.
Kami berbincang hingga larut malam. Baru kutahu ternyata Bang Gilang akan hendak melamar seseorang dalam waktu-waktu dekat ini. Seorang dokter, manis pula, anak ustadz lagi. Bang Darwis bercerita menggebu-gebu macam dia yang mau menikah lagi. Kojek tiba-tiba amnesia dengan Syafira dan langsung bercita-cita punya istri dokter juga.
Iseng aku bertanya tentang apa itu cinta menurut mereka. Tersenyum-senyum mereka mendengarnya. Bang Darwis bilang:
"Cinta itu ibarat lembah berngarai. Yang seharusnya menjadikan diri ber-hulu-kan perasaan bersih nan jernih dan berhilirkan nalar. Aliran tujuannya jelas dan deras berarah. Kedalamannya adalah pengorbanan."
Aku manggut-manggut mendengarnya karena tak mengerti.
"Jadi jangan kau biarkan cintamu tercemar. Sampe-sampe cuma jadi tempat buang hajat. Keruh macam Sungai Deli."
Aku tertegun.
Mengingat latar belakang dan sifat Bang Darwis, wajar gramatikal jawabannya kompleks dan agak sukar dipahami. Atau mungkin aku yang kurang mahir menafsirkan maksudnya. Lembah berngarai? Tempat buang hajat? Aku sedikit bingung. Tapi dari nasehat Bang Darwis aku menangkap ada 5 hal.
Yang pertama: Bahwa cinta itu seperti sungai berngarai. Yang kedua: dalam cinta harus ada perasaan, nalar, tujuan, dan pengorbanan. Yang ketiga: cinta harus dijaga. Yang keempat: Air Sungai Deli keruh dan dijadikan tempat buang hajat. Yang kelima: sepulang dari sini aku harus mencari tahu apakah air PDAM Tirtanadi bersumber dari sungai Deli atau tidak.
Tanpa kuminta Joe langsung menyambung percakapan dengan memberikan sebuah falsafah ajaib yang sukar dipahami.