Aku dibesarkan di lingkungan yang tidak terbilang bobrok tapi juga tidak bisa dikatakan baik. Aku sendiri bingung menyebutnya apa. Terkesan tidak bagus dikarenakan lumayan dekat dari rumahku ada sebuah rumah yang dindingnya apabila digelitik mampu melahirkan selintingan ganja. Hanya dengan mengorek-ngorek celah dinding yang jadi syarat pemenuhan sajen untuk dikabulkan permintaan agar semen dinding berubah secara ajaib jadi selinting ganja.
Dibandingkan rokok jambu tentu rokok berbahan baku Canabis ini lebih digemari hampir di semua kalangan remaja, bapak-bapak, duda, dan perjaka tua. Sebab dianggap tidak merusak paru-paru meski harganya relatif lebih mahal dari rokok Malboro dan Samsu.
Belakangan hari baru aku tahu, ternyata selipan selintingan ganja di rumah itu adalah barang hasil jual beli yang amat transparansi. Bayar di muka ambil di belakang. Dalam makna hafiahnya.
Kehidupan malam sekitaran rumah memang terlepas dari hingar-bingar musik dangdutan kafe remang-remang yang merusak iman. Akan tetapi akibat kekosongan maksiat itu, setan jadi semakin giat bekerja. Manusianya sendiri pun jadi berpikir lebih keras untuk mencari dosa yang paling tidak bisa lebih diterima warga serta tidak mengganggu kondusifitas keamanan dan kenyamanan lingkungan.
Persis kata pepatah bahwa hasil memang tidak pernah mengkhianati usaha. Atas inisiatif seseorang yang mencari wangsit dari perenungan di bawah pohon nangka selama berjam-jam. Maka diputuskan agar begadang sampai pagi lebih produktif, sebaiknya diisi dengan membuka konfrensi meja bundar membahas perjanjian judi kartu. Serta langsung praktek hingga lupa anak istri dan kebutuhan rumah tangga.
Dari atmosfer seperti itulah aku tumbuh hingga akhirnya mulai memahami bahwa perjudian, kafe remang dan bandar ganja memang sengaja dipelihara oleh oknum yang punya kuasa. Selain membuka lapangan kerja baru juga menjaga stabilitas ekonomi para bedebah. Tidak heran parasit-parasit semacam ini sulit sekali untuk diberantas.
Sementara di sisi lain, anak-anak yang masih polos tanpa noda diantar para orang tua ke pelataran masjid untuk mengaji. Tak peduli seberapa durjana sang ayah, ia tetap akan menggeret anaknya kepada Pak Ustadz.
"Agar kau jadi anak yang baik-baik dan bisa do'ain bapak." Kata seorang ayah yang menjabat sebagai salah satu Senator Konfrensi Meja Judi. Seakan dari lubuk hati yang paling dalam sang ayah benar-benar sadar bahwa perbuatannya selama ini adalah sebuah kelakuan yang bertolak belakang dengan akhlakul karimah dan ditentang pancasila serta dasadharma.
Aku terkadang bertanya mengapa aku besar di lingkungan yang demikian. Bertahun-tahun setelahnya akhirnya misteri kenapa Tuhan menitis ruhku ke dalam janin yang dilahirkan di tempat seperti itu pun terjawab.
Aku menemani Kojek dan Bang Gilang ke sebuah lingkungan yang lumayan mencekam, kata masyarakat. Tahu kenapa? Karena memakai sabu di kawasan ini sudah jadi barang lumrah. Hal yang tidak perlu diherankan, konon dikomentari. Kami hendak menjumpai salah seorang teman lama Bang Gilang. Ketua pemuda setempat yang sudah setengah tahun ini menuju pertaubatan, hijrah tepatnya. Begitu sering diistilahkan. Orang-orang yang punya masa lalu kelam saja semakin sadar akan dosa, sedangkan aku malah yang tidak sadar-sadar. Terlalu bebal. Aih, parahnya lah aku.
Teman Bang Gilang, Tohar panggilannya, ingin mengajak pemuda-pemuda yang lain segera insyaf. Jadi dia meminta bantuan Bang Gilang membuat kajian rutinan. Sembaripun Bang Tohar ikut nimbrung di dalamnya. Namun kali ini masih perdana.
"Uda muak aku liat orang ini nyabu tiap hari." Omel Bang Tohar akan anggotanya.
"Sebenernya kasihan aku, tapi palak juga. Kayak ginikan, nggak boleh dibiarin teros. Prihatin juga aku." Lanjut curhat Bang Tohar.
"Iyalah, harus itu. Kan kau juga pelopor rusaknya moral orang ini, Har." Timpal Bang Gilang kejam.
"Justru itu, Lang. Makanya awak mau perbaiki kesalahan di masa lalu." Bang Tohar berpuitis dari lubuk hati yang paling dalam.
Aku angguk-angguk saja. Tidak tega aku mengusik suasana nurani seseorang. Sementara pemuda yang lain khidmat mendengarkan.