Eunoia

Name of D
Chapter #42

Fragmen ke-38: Turbulensi Kata Hati

Hari-hari berlalu dengan cepat. Benarlah kata orang-orang bilang bahwa hidup adalah serentetan pilihan. Multiple choice dengan probabilitas unlimited. Dalam kata lain, dari kaca mata manusia, ujian hidup sebenarnya lebih layak dikatakan sebagai esai bukan pilihan. 

Hubungan kisah Bang Gilang dan Kak Dokter berakhir karam. Tenggelam ditelan kenyataan. Bang Gilang memutuskan berangkat ke Damaskus melanjutkan kuliah. Sedangkan Kak Dokter memilih untuk membenahi ruang hati untuk mempersilahkan sosok baru. Pernikahan yang diidam-idamkan itu, yang jadi bahan ejekan kami sepanjang malam kini tertinggal angan. Kian meredup bersama habisnya terang bulan.

Subuh hari aku dan Bang Darwis mengantar Bang Gilang ke bandara. Selama di perjalanan kutanya alasan Bang Gilang. "Qodarullah," ucap Bang Gilang mantap sambil tersenyum getir.

Banyak di dunia ini yang tidak bisa dipaksakan. Ketetapan Allah itu lebih kokoh dari keras usaha siapapun. Bukankah kita tidak mampu menahan hujan yang turun dari langit. Lalu tanah, tumbuhan, burung-burung, hewan, ikan-ikan, mamalia, amoebah, lintah darat, koruptor, kapitalis, pemimpin-pemimpin durjana, rumput-rumput yang hanya jadi pijakan, protozoa, tungau dan manusia mendapat bagiannya masing-masing sesuai apa yang telah ditakarkan takdir.

Umur, rezeki, usia, jodoh dan pertemuan memiliki batas. Batas-batas yang terbentuk jauh sebelum armada Portugis dan Vereenigde Oostindische Compagnie menginvansi Nusantara. Amat kuno melampaui prasasti Majapahit, Singosari, Kertanegara dan candi-candi yang terpajang di tanah Jawa. Bahkan lebih purba ketimbang peradaban Fir'aun, bangsa Aztec dan suku Maya. Lama sebelum Iblis jadi pongah. Semua sudah diatur dengan alur paling sempurna oleh Ia Yang Maha Kuasa.

Sebelum Bang Gilang check in kami berpeluk mesra layaknya saudara. Kemudian berfoto untuk kenang-kenangan. Bang Gilang bergaya dengan mengacungkan jari telunjuk, melambangkan ketauhidan. Bang Darwis juga berpose dengan mengacungkan jari telunjuk, tapi dengan maksud penegasan bahwa ia masih beristri satu. Aku tiga jari, satu dan dua, isyarat ingin punya dua belas anak.

Bahagia bercampur haru perasaan. Mata Bang Darwis lembab berkaca-kaca. Aku tahu tidak akan bertemu Bang Gilang dalam waktu yang cukup lama. 

Lihat selengkapnya