Eunoia

Name of D
Chapter #43

Fragmen ke-39: Subdural Hematoma

Begitulah berkali-kali aku dikalahkan rasa. Emosional dan air mata benar-benar senjata paling mukhtakhir untuk mengubah pendirian jiwa. Gelisah diaduk dilema, dicerca akal dan pengetahuan, namun dibujuk hasrat serta dirayu ego membuat bimbang tak kepalang. Beginikah mungkin yang sempat dirasakan Bang Gilang dan Bang Tohar.

Sementara Joe dan Kojek memilih bungkam. Tidak mau mengomentari yang macam-macam karena mereka tahu betul kalau aku membutuhkan ruang untuk merenung. Menit ke menit berlalu tanpa tumbuhnya keteguhan. Detik ke detik melaju tanpa tampak hasil keputusan.

Pesan singkat di ponsel bertuliskan, "Beruntung memilikimu," dari Elvisa malah membuatku galau pangkat dua. Gelang hitam yang melilit lekat di pergelanganku menambahnya menjadi galau pangkat tiga. Setiap kali bertemu ibunda Elvisa, keramah-tamahannya meningkatkan galau jadi pangkat empat. Akan jadi seperti apa aku nanti pada pandangannya jika benar kami berpisah. Kuharap tetap sama. Kuharap tak berubah. Kuharap aku punya pilihan lain.

***

Malam itu bulan benderang. Awan gemawan bergerak lewat bagai hendak bersafar ke tempat yang jauh. Melirik ke arah aku dan Joe yang berkumpul di pelataran rumah Bang Tohar. Perkembangan pengajaran di lingkungan rumah Bang Tohar terbilang tidak semulus yang diperkirakan. Ternyata Bang Tohar bukanlah satu-satunya penguasa tanah kampung. Ada pria berjuluk Abeng yang juga kepala distrik utara yang tidak terima konsumennya semakin berkurang akibat Bang Tohar membuka pengajian di rumahnya. 

Kini banyak dari mereka yang hari-harinya sarapan sabu sekarang hanya mengkonsumsi rokok Sampoerna 12 batang. Yang dulunya doyan mabuk dan minum kamput sekarang mulai lebih memilih menikmati buah dan sayur-mayur yang kaya gizi dan serat. Dulunya hobi judi sekarang perlahan sudah mengerti kebutuhan anak dan isteri. 

Sebagian remaja sedikit banyaknya sudah mengerti bahwa menumbuhkan pohon palawija lebih menguntungkan ketimbang menanam pohon ganja. Kalaupun mereka masih bercita-cita membudidayakan daun ganja, paling tidak mereka tahu bahwa ganja hanya legal untuk industri farmasi sebagai obat, bukan diperuntukan membuat rokok linting.

Dari hal itulah gesekan mulai terjadi. Beberapa konfrontasi kecil tak terelakan. Namun di kampung Bang Tohar semua hal itu sudah biasa. Dibacok tetangga, diciduk aparat negara, saling pukul sampai napas hampir putus, babak belur dimassa, ancam-mengancam membakar rumah dan balas dendam, ataupun meneror dengan mencuri hewan peliharaan, kaos daleman dan kendaraan sudah jadi musik sehari-hari. Aman, urusan abang itu lagak Bang Tohar mantap. 

Di sela-sela perbincangan, ponsel Joe berdering. Misscall dari Bang Darwis. Hari ini memang Bang Darwis juga berjanji datang. Ada buku yang mau diberikan ke Bang Tohar ungkapnya dua hari lalu.

"Assalaamua'laikum Bang, Wis? Dimana?" Telpon Joe balik.

"Halo Bang, temen abang kecelakaan ni. Cepet kemari Bang! Udah parah dia ini!" 

Lihat selengkapnya