Kabar kematian Bang Darwis aku kabarkan via media sosial kepada Bang Gilang. Innalillahi wa innailaihi rooji'un, ketiknya. Ternyata berita itu sudah pernah dikabarkan orang lain. Tidak terbayangku bagaimana ekspresi Bang Gilang saat pertama kali mendengar kabar duka itu. Mengingat mereka sudah berteman lama. Berkawan dekat, sedekat jari-jemari.
Untukku Bang Darwis sudah kuanggap abang sendiri. Abang yang humoris dan tak pernah marah. Konyol namun sangat perhatian. Kematiannya bagai pukulan telak di batin kami. Orang-orang yang kenal dekat dengannya. Terkhusus isteri Bang Darwis yang tak henti-henti meneteskan air mata. Guncangan jiwa yang dirasakan pastilah amat berat. Sebab yang sedang dikebumikan adalah orang yang paling dicintainya, teman berbagi ceritanya, sandaran hidupnya, sekaligus kekasih hatinya.
Aku teringat saat Elvisa bercerita tentang kakak pertamanya yang meninggal semasa muda karena sakit. Ia sesenggukan di dekapanku. Memang kalanya luka batin tak perlu diusik-usik. Tidak perlu ditanya mengapa harus terjadi. Cukup terima, lalu ikhlaskan. Biar waktu yang mengeringkan lukanya.
***
Aku menjumpai Elvisa di bawah pohon beringin. Pelataran taman auditorium kampus sembari mendengarkan suara semburan air mancur universitas yang sering nyendat entah apa sebabnya. Tempat biasa kami saling tukar bahasan kegiatan hari-hari. Berbagi cerita tentang selepas kuliah, bermimpi tentang menikah. Banyak anak, foto keluarga, rasa masakan, menikmati senja sembari makan ice cream di beranda rumah, memasak bersama di tanggal merah, mengelilingi daerah wisata, menggendong anak ke taman bermain dua minggu sekali, menonton film india yang kelakuannya di luar nalar hukum fisika, hingga tertawa sampai gigi kering. Absurd, tapi indah.
Saat ia bercerita aku sangat suka caranya memandang. Seakan-akan aku ini istimewa, seolah aku adalah coklat yang siap dia lahap. Berbinar-binar dan penuh daya hisap.
Kafilah angin hari ini yang cukup ramai menumbuhkan udara dengan berbagai aroma. Namun bagiku yang favorit tetap satu, feromon Elvisa. Hal terbaik yang pernah kucium seumur hidup. Aromanya serasi dengan metabolisme tubuhku. Seolah senyawa volatilnya yang kuhirup senantiasa meningkatkan hormon dopamin, serotonin, dan endorfin sekaligus.
Ia ceria seperti biasa, bercerita tak henti-henti. Candu yang paling sulit untuk diobati ialah mendengarkannya berkisah. Mengandung lebih banyak kafein ketimbang kopi manapun. Morfin paling ampuh untuk mereda rasa sakit apapun.
Aku jadi ingat pertama kali melihatnya. Ketika pendaftaraan Sekolah Menengah Atas. Ia memakai topi dan celana ponggol persis lelaki. Satu-satunya yg menandakan ia wanita hanyalah rambut hitam panjangnya. Lucu dan aneh.
Lalu ketika ia ngambek di perpustakaan sekolah. Diam macam batu betuah, tidak ingin melirikku meski sedikit. Wajahnya amat lucu, minta digoda.