Hari-hari selepas merelakan Elvisa tidak pernah sama lagi. Riak-riaknya mulai hilang. Mendung kembali menjalar memenuhi atap keseharianku. Sehebat apapun coba kutahan, pada ujungnya aku tetap khawatir akan keadaannya. Beberapa kali aku menanyakan kabar melalui via telepon. Seperti yang kau tahu. Ia murka. Sadar benar aku, pasti ia sangat kecewa, tersakiti dan merasa dikhianati. Sudah layak aku memang disalahkan atas kebodohanku selama ini. Yang menyebabkan hati seorang gadis polos harus merasakan pedihnya patah hati. Setelah ini di mata Elvisa -orang yang paling kusayangi- aku akan bermutasi menjadi lelaki brengsek sekaligus manusia paling jahat di muka bumi. Hal itu dikonfirmasi dengan datangnya sepucuk surat.
Begitu banyak kata yang ingin aku sampaikan, tetapi hanya kata maaf yang dapat mewakili semuanya.
Maaf untuk keegoisan yang kutuangkan kepadamu. Maaf, aku yang tak pernah menyadari siapa aku sehingga aku terlalu banyak menuntut. Aku meminta kebahagiaan tetapi aku tak pernah membahagiakanmu. Maaf kan aku...
Saat ini izinkan aku mengakui semua keegoisanku bahwa cintaku berjalan tanpa keikhlasan. Cintaku mengharapkan imbalan. Dan rasa aayang ini begitu serakah. Aku bersama segenap kebodohanku begitu banyak membuatmu tersiksa. Aku meminta banyak waktumu tapi tak pernah kuluangkan waktuku untukmu...
Maafkan aku...
Kemarahanku yang berlarut-larut seringkali membuatmu bingung. Mengapa wanita bodoh ini tak pernah mengerti bahwa jika kau ingin mengerti cobalah mengerti orang lain terlebih dahulu!!
Sekali lagi maafkan aku....
Dari sekian banyak kesalahanku bagaimana bisa aku meminta. Bagaimana bisa aku menuntut untuk dipertahankan? Kau mungkin akan cepat mati bila aku terus jadi benalu di hidupmu. Ya...aku sadari itu.
Maafkan aku yang terlalu takut kehilanganmu sehingga memaksamu untuk mengikatku disaat aku lebih pantas untuk dilepas.
Satu hal yang harus kau tahu, betapa bahagianya aku jika ada di sisimu walau hanya 5 menit. Jika kau mengatakan aku akan bahagia bila tanpamu, kau salah besar...
Bukankah pernah kukatakan "bersamamu aku bahagia meski aku menjadi gila?"
Lalu di sisi yang sebelah mana lagi aku bisa bahagia tanpamu?