Tahun berganti. Begitu pula dengan isi hati. Dua tahun waktu yang cukup lama untuk menyembuhkan luka. Bahkan mengeringkannya sampai tidak berbekas lagi. Rumor-rumor datang diterpa angin tentang Elvisa yang kemungkinan sudah menemukan mentari baru untuk menerangi gelapnya. Mendengar itu aku hanya bisa mengangguk tanda pasrah. Memangnya aku bisa apa? Sambil tersenyum getir kupandangi gelang hitam pemberiannya. Dua tahun dan aku masih cinta. Hidup dengan cara yang sama, melihat rotasi bumi dengan Elvisa sebagai porosnya.
Sebagaimana bumi mengorbit, waktu berjalan dengan cepat dan tetap membawa sifat dasarnya. Merubah apapun yang ia lewati. Namun kali ini tidak, tidak pada perasaanku. Ia stagnan. Kebal terhadap arus waktu. Terhenti pada dimensi masa lalu.
Sesekali bunga tidur mekar dengan Elvisa sebagai kuncupnya. Ia berdiri di kejauhan sambil tersenyum lembut. Menatap manis persis saat pertama kali kami saling mengenal. Kafilah angin dari selatan mengibas-ngibas kerudung birunya dengan amat anggun. Bunyi debur ombak dan aroma karang berpadu latar langit malam yang berdekor bintang gemintang bagai sayap malaikat yang mengelilinginya. Butir-butir pasir berterbangan dan berputar-putar menghisapku pada ketidaksadaran. Menenggelamkan akan kerinduan yang amat kelam. Sampai ketika sahutan ayam menyeretku keluar kembali ke dunia nyata.
Kadang kala aku duduk di pelataran auditorium kampus. Berharap sosok Elvisa lewat dan setidaknya aku bisa melihatnya, meski dari kejauhan. Setiap kali aku berdiam di sana, kurasakan detak detik melambat. Meski sejatinya kusadar itu adalah hasil sintesis dari sebuah pengharapan dan proses imaji. Efek berantai selanjutnya, hatiku akan berbisik untuk memohon pada semesta agar hari ini tidak usai begitu saja.
Sayangnya, permohonan itu hanya sampai ke langit, bersemayam dan tidak pernah lagi kembali turun ke bumi. Tidak sekalipun kami berpapasan. Wujud itu tidak pernah tampak barang sekejap pun. Dalam setiap pandangan liar yang tertabur selama ini, yang tertangkap hanyalah kelebat bayangan Elvisa yang mondar-mandir tidak henti-hentinya di pikiranku.