Satu-satu kecurangan yang bisa kuperbuat adalah mendo'akan Elvisa di sepertiga tarikan malam. Mengiba-iba agar aku punya tambahan waktu. Berharap semoga kelak Elvisa memahami dan memaklumi keputusanku. Pada waktu-waktu malaikat turun ke bumi itulah aku memelas minta dikasihani Tuhan. Bila aku diperkenankan, agar direkatkan kembali dengan cara yang paling diridhoi-Nya. Kalaupun sekarang Elvisa sedang dekat dengan lelaki lain, tak apa biarlah. Tapi jika sudah masanya, putuskanlah mereka berdua. Lalu datangkan aku sebagai penggantinya. Hehe, licik sekali.
Begitulah malam dicipta, supaya manusia bisa lebih leluasa mengemis kepada-Nya. Bagi seorang hamba yang kaya iman dan hatinya dipenuhi rasa syukur, sepertiga malam merupakan momen paling bahari untuk bermunajat dan bersujud simpuh bermesraan dengan Tuannya Yang Maha Esa. Sedangkan untuk budak penggerutu dan miskin religiositas semacam aku, malam adalah waktu paling mustajab menyampaikan hajat menengadahkan do'a.
Sementara siangnya adalah kesempatan bagiku untuk insyaf dari kemalasan agar bisa segera menyelesaikan pendidikan sembari bekerja keras macam orang kesurupan. Motivasiku sekarang adalah kaya seperti Qorun, namun bersahaja sebagaimana Che Guevara. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan supaya bisa lekas meminang Elvisa.
Hingga pada suatu sore aku bermimpi Elvisa memakai baju pramuka sama seperti saat SMA dulu. Kami saling bertatapan di padang rumput savana. Angin semilir meniup segalanya: pakaian, rerumputan, para bunga, awan gemawan, dedaunan. Kemudian ia melambai dan berbalik menjauh. Sedangkan badanku berat serasa dihisap gravitasi. Tersungkur tak berdaya memandanginya pergi.
Awalnya kuanggap itu bunga tidur semata karena rinduku yang sudah terlampau kronis. Sampai Joe mengabarkan bahwa Elvisa akan kerja di Jakarta. Aku mafhum mungkin mimpi itu adalah isyarat. Kemungkinan Elvisa akan menetap di sana lama, lengkap Joe. Lama? Benarkah? Satu-satunya kata yang terbayang di benakku saat itu ialah "akhir". Aku tahu sedang berada pada waktu-waktu yang kritis. Selama ini raga tidak pernah bertatap dengannya padahal masih di satu kota. Bagaimana pula jika beda kota, beda pulau bahkan. Ditambah lagi kasus saudaraku yang ditinggal menikah oleh kekasihnya menghantuiku sepanjang malam. Ia bergentayangan di hari-hariku. Bagaimana jika hikayat percintaanku juga berakhir tragis serupa dirinya?