Selama Elvisa di Jakarta, hari-hari aku membuka layar ponsel. Mungkin orang yang melihat beranggapan aku pecandu media sosial, atau penggiat dunia maya, atau malah buzzer pemerintah. Padahal tak lebih aku hanya menanti-nanti postingan dari Elvisa. Karena itu satu-satu sarana untuk mengetahui kabarnya.
Selama mengenalnya, sedikit banyak aku memahami tabiatnya. Termasuk cara ia menggunakan media sosial. Setiap postingan pasti berhubungan dengan kehidupannya. Baik itu buah pemikiran, pendapat, prosa, puisi ataupun kata-kata mutiara. Sederhananya, tulisan pada postingan Elvisa mengandung pesan implisit dan sangat dipengaruhi oleh sedang baik atau buruk kondisi hati. Sedangkan jika poto yang diposting. Tentu disana ada maksud, ada catatan yang tersembunyi. Bukan hanya catatan tapi juga sosok yang tersirat. Intinya, setiap postingan pasti memiliki tujuan.
Lagi pula seperti yang kubilang sebelumnya. Mungkin terdengar aneh, tapi itu memang terjadi padaku. Firasat terkadang jadi makhluk yang paling pemurah. Ada kalanya kabar tentang Elvisa ia bersitkan lewat berbagai macam medium. Mulai dari mimpi, anomali tubuh, sampai pemikiran yang tetiba muncul seperti tembakan peluru. Itulah kenapa aku tahu ia sedang sakit dan ia kebingungan tahu dari mana sedangkan ia tidak pernah bilang ke siapapun. Padahal aku sendiri pun sekedar bertanya memastikan.
Pernah satu postingan muncul dan dari kosakata kalimatnya aku langsung mafhum ia sedang sedih. Melihat hal-hal begini tak pernah mampu aku menguasai diri sendiri. Jemariku secepat kilat mengetikkan kalimat, namun selalu bimbang ketika akan mengirimkannya
"Kenapa bisa, Elf?" Kirimku setengah ragu.
Tidak lama. Pesan itu berbalas.
"Once you thinking about the things that you really want so much to do.. or the feeling that you really want to feel.. But then your time never match..Next that question come and hurt your pride so much..."
Baru sekali membalas chat. Elvisa sudah menyadarkan akan suatu hal pahit. Bahwasannya, betapa primitifnya kemampuanku dalam berbahasa Inggris. Sekedar menerjemahkan kalimat sederhana saja aku kewalahan. Untung saja di zaman serba praktis ini telah diciptakan aplikasi kamus translate elektronik yang diperuntukan untuk orang-orang yang gagap bahasa Inggris. Betapa berjasa orang yang merancangnya.
"Ketidakcocokan gimana yang kau maksud, Elf?" Tanyaku perhatian.
Jika hendak bertanya mengapa aku membalasnya dengan Bahasa Indonesia, anggap saja aku sangat mencintai bahasa tanah air sendiri.
"You want to do that.. but your life push you to do anything else..Next that question come and hurt your pride so much...."
Aih, bahasanya. Sementara nun disana ia sedang melankolis. Aku di sini malah tidak bisa merasakannya karena sibuk menerjemahkan kata-kata. Sungguh tidak mengenakkan bodoh dalam bahasa Internasional yang satu ini. Pada balasan chat kedua sudah cukup membuatku menyesal mengapa tidak belajar serius ketika SMA dulu.
Tidak tega membayangkan Elvisa bermuram durja. Aku coba menghiburnya. Bertanya tentang apa yang ia rasakan. Ia hanya menjawab tidak tahu.
Sejujurnya aku selalu menikmati saat berkirim pesan dengannya. Meski tidak jarang percakapan yang terjadi persis wawancara kerja. Aku bos-nya yang selalu bertanya dan dia calon pegawai setengah tuli yang menjawab ala kadarnya. Tapi tak mengapa. Percakapan semacam ini pun sudah cukup sebagai wakil manifestasi rindu yang berlarut-larut.
***
Heran dengan gelagatku yang ganjil, akhirnya Elvisa bertanya apa tujuanku.
"Are you care so much? Or just try to give attention..."
Aku ingin mengatakan khawatir danrindu. Tapi entah kenapa yang keluar malah...
"Apa ya...aku juga kurang tahu...kenapa,Elf?
"Just want to know."
"Apa bahasa inggrisnya, Mungkin waktu nanti yang punya jawaban.
Kenapa begitu sulit untuk jujur dan mengatakan segalanya. Kadang aku berharap dapat berbincang langsung dengannya. Betatapan, saling mendengar suara, meresapi intonasi nada dari setiap kalimatnya, mungkin itu akan lebih bagiku untuk memaksa apa yang ada di pikiranku ke luar seutuhnya. Tidak tanggung dan ragu-ragu begini.
"What the english of Maybe the time know the answer."
Sekiranya aku dapat melihat ekspresinya ketika mengirimkan kalimat itu. Mungkin aku akan dapat jawaban lebih tentang apa yang sedang ia rasakan sekarang.
"Maybe the time know the answer."
Ia tak percaya. Mencoba berteman, bolehkah jika kita saling berkawan seperti dahulu. Ia tetap tak percaya.
"May I ask some question?"
Akhirnya kalimat itu muncul dariku.
"Just ask one question. I have no reason to answer all your question..."
"I have two questions,just 2...maybe its so private."