Bulan Agustus Elvisa mendapat pekerjaan baru di Surabaya. Lebih asik dan lebih ramah dibandingkan lingkungan kerja lamanya. Saban pagi aku bangun dan melihat tabunganku. Sudah tidak sesemangat biasanya. Gairahku untuk mengumpulkan rupiah surut. Tidak ada lagi alasanku untuk bekerja seperti budak. Sudah cukup rasanya menghambakan diri pada para kapitalis.
Hari-hari kucoba untuk memulihkan perasaanku. Berdamai dengan masa lalu serupa yang dilakukan Elvisa. Menjalani masa sekarang sebaik mungkin. Kuhabiskan waktu dengan banyak kegiatan. Berorganisasi, berolahraga, membangun bisnis yang baru sebentar saja berdiri sudah kolaps, dan jika senggang terkadang bersilahturahmi ke tempat Bang Tohar yang sudah tidak membujang lagi. Sekarang sudah ada yang sudi mengurusnya. Tampilannya jadi lebih rapi dan rupawan sekarang. Ia juga tampak lebih bahagia.
Sekali waktu juga kuikuti kajian atau menjadi relawan sosial dan kemanusiaan serta membenamkan diri dalam tulisan, dunia literasi yang baru saja aku berkenalan dengannya. Padahal dulu jangankan membaca, menyontek saja aku minta dituliskan. Luar biasa kronis kemalasanku. Baru tersadar sekarang bahwa kemalasan memang tidak ada faedahnya.
Namun demikian, meski dengan segala kesibukan, melepaskan sesuatu yang hampir permanen tetaplah tidak semudah tips-tips Google. Mengikhlaskan satu-satunya tujuanku ternyata lebih berat ketimbang lulus skripsi.
Tanggal tujuh November aku jatuh sakit seharian. Tidak tahu sebabnya apa. Badanku serasa lemas macam terserang gejala Tipes. Panasku cukup tinggi. Tapi lidahku normal. Masih bisa kurasakan manis pedas makanan. Semasa sakit itu aku malah kepikiran dengan orang yang paling ingin kulupakan. Elvisa. Tidak peduli berapa kali kuusir, ia kembali lagi seperti per. Anehnya tanpa perlu ke dokter, keesokan hari aku sembuh. Sehat bugar seperti sedia kala.
Baru kutahu penyebabnya sebulan kemudian. Penyakitku beralasan rupanya. Meskipun secara sains itu tidak dapat dibenarkan. Setidaknya secara firasat naluriah itu bisa jadi sebuah kemungkinan pembenaran. Tujuh Desember sebuah poto terpampang pada sebuah postingan. Elvisa dan seorang lelaki ganteng, dihinggapi dekor kecil satu emoticon kue berlilin. Yang berarti secara tidak langsung berkata Happy Anniversary. Sekali lagi harus kuteguk lagi kecemburuan tak mendasar. Memangnya siapa aku rupanya hingga punya wewenang untuk cemburu?
Sering kubertanya pada Zuraidah Ulfa, bodohkah orang yang berjuang untuk seseorang yang bahkan tidak ingin diperjuangkan hingga lima tahun lamanya. Bodoh bangetlah, jawabnya to the point.
"Secara naluriah, perempuan memang seneng dikejar-kejar. Tapi itu nggak sehat tahu!" Nasehatnya padaku.
Lalu aku tertawa. Menertawai kebodohanku. Kutanyakan pada hatiku, tidakkah kau lelah terus bertahan, kawan? Ia tak mengangguk, tak pula menggeleng. Hanya diam...diam seribu bahasa.
***
Dalam rutinitas sempat aku berpapasan dengan Kak Dokter. Mantan calon pinangan Bang Gilang dulu. Ia keluar dari mobil bersama seorang lelaki. Beriringan mesra sambil menggendong bayi. Ingatanku langsung terjun ke fragmen masa silam. Terbayangku wajah berseri-seri Bang Gilang setiap kali menceritakan tentang Kak Dokter semasa dulu. Tidak terasa perpisahan itu sudah lama rupanya.
Sesekali pula aku berpapasan dengan Ibu Elvisa. Seperti biasa, ia selalu ramah. Bercerita panjang lebar tentang Elvisa yang moody-an, tak mahir memasak, apa kegiatan Elvisa sekarang, bagaimana kehidupan Elvisa jauh di sana, keluhan kenapa Elvisa begitu lasak dan tidak bisa diam, yang suka membantu mengajari adik-adiknya, membantu finansial keluarga, komunikasi jarak jauh mereka berdua, bahkan kesulitan-kesulitan hidup yang pernah dialami Elvisa. Seolah ingin mengeluarkan beban yang ada di pikirannya, Ibu Elvisa bercerita amat rileks seakan-akan tidak ada masalah yang terjadi antara aku dan Elvisa. Masalah? Sejujurnya aku sendiri ragu apakah apa yang terjadi pada kami bisa dikategorikan sebagai masalah atau tidak.
Dalam sela-sela rindu yang kerap kali menjangkit, mendengar kisah Elvisa dari ibunya seakan mengkonsumsi obat simtomatik. Salah satu yang dibutuhkan untuk pemulihan. Atau bahkan mungkin lebih cocok sebagai obat antibiotik, yang selalu aku butuhkan selagi hidup. Entah sampai kapan aku begini. Sampai pulih total atau mungkin sampai mati total. Aku juga tak tahu pasti.
Pernah juga aku bertemu Syafira. Lama tidak jumpa, ia makin jelita saja. Tapi cerewetnya masih juga dipelihara. Berkembangbiak bahkan. Sedikit kugoda kisah asmaranya seperti dulu.