Eunoia

Name of D
Chapter #54

Fragmen ke-49: Déjà vu

Berhembus, angin bergerak mengarungi takdirnya. Menjatuhkan dedaunan dan para ranting. Menyentuh, menebarkan kesejukan di bawah sekawanan pohon rindang. Aku pun demikian, tak ubahnya angin menjalani takdirku. Terduduk di pelataran auditorium yang sepi. Menitikan kalimat-kalimat yang akan kurangkai menjadi sebuah cerita hidupku yang baru. Melepaskan kisah dan cemasku. Berharap keteduhan hari berkenan menerimanya. 

Malam-malam panjang kujadikan tempat berpikir, hendak kuarahkan kemana hasratku selanjutnya. Sejujurnya aku ingin berkelana, ada beberapa tempat yang ingin kukunjungi. Backpacker. Mencari banyak lagi pengalaman. Bertemu macam rupa sifat orang baru. Mengabadikan pemandangan yang menakjubkan. Namun sayang, untuk sekarang uang di kantong masih belum berkenan. Lain kali jika ada kesempatan pasti aku lakukan. 

Hari-hari dimana menyerah menjadi begitu sulit telah lewat cukup panjang. Masing-masing dari kami mulai selangkah demi selangkah mendekat pada tali jiwanya. Masing-masing dari temanku sepertinya sudah menemukan kekasihnya. Satu per satu.

Farija semisal, setelah habis-habisan didesak Ipeh plus terkena jurus sindiran Joe bertubi-tubi, akhirnya ia luluh. Memutuskan untuk melamar belahan jiwanya itu tahun ini. Menggelikan sekali mengingat penjabat negara terlalu sibuk berhemat hingga tanda pengenal yang keluar selama ini hanyalah berupa resi. KTP Ipeh baru tercetak sebulan lalu setelah lima tahun menanti. Pada KTP Ipeh statusnya masih tertulis belum kawin. Lucu membayangkan KTP yang belum berumur tahunan itu harus dicetak ulang karena segera akan ada perubahan status pemiliknya. Dan semoga saja Ipeh tidak harus menanti lima tahun lamanya agar KTP itu kembali lagi ke sisinya.

Selepas basket Joe bilang padaku, ia hendak bertaa'ruf dengan seorang gadis berdarah Batak. Persis dirinya yang seorang Hasibuan. Kudukung keinginannya dengan segenap hati. Apa yang bisa kubantu tentu kubantu. Menjomblo terlalu lama juga tidak baik. Rawan bisikan setan. Apalagi mumpung tampangnya masih terlihat seperti orang berumur empat puluhan, candaku.

Hal yang paling di luar dugaan ialah Kojek. Ia memang sosok yang penuh kejutan. Minggu lalu ia beranikan bertandang ke rumah Syafira. Bertampang pura-pura lugu meminta izin pada orangtua Syafira agar dipersilahkan meminang anak tercinta mereka. Siapa sangka, bahkan batu cadas pun dapat tembus jika ditetesi air terus-menerus. Hari itu pula, jawaban Syafira menambah daftar keajaiban dunia. Ya, ungkapnya tanpa beban.

Sempat kukira Syafira ditempeli jin. Ternyata tidak, bagi Syafira ini semua tentang komitmen dan keseriusan. Sedangkan untuk Kojek ini semua tentang keberuntungan. Betapa kesetiaannya selama ini berbuah manis.

Faisal masih fokus membangun bisnisnya. Anu pun demikian. Masih sibuk bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil. Guru salah satu sekolah punya pemerintah. Semoga anak-anak muridnya dapat bernalar secara baik dan benar. Sesuai normal standar manusia. Mudah-mudahan teori absurd Anu tidak mengganggu daya tumbuh kembang murid-muridnya.

Elvisa pun kudengar sudah sangat bahagia dengan kehidupan barunya. Berjarak ratusan kilometer dari tempatku hidup sekarang. Selebihnya tidak berani kucari tahu. Toh dari dulu Elvisa memanglah puteri yang berdiri anggun di altar suci. Sedangkan aku hanyalah sebatas rakyat jelata yang beruntung bisa mengaguminya dari balik tirai keramaian. 

Tanggal 23 Desember lalu, kukunjungi gunung. Menjumpai kekasihku yang baru...kesendirian, itu namanya. Perpaduan puncak gunung dan teritik atas malam membuat rasi bintang Crux amat gemerlap. Joe sempat curiga kalau-kalau aku mau menjumpai malaikat maut di sana. Ia ancam andaikata aku kembali tak utuh tanpa ruh dengan tubuh dingin, mata terbelalak dan bekas jeratan melingkari leher atau ada luka lebam di sekujur tubuh atau sekiranya ada sayatan atau tusukan di bagian vital, ia tak mau mensolatkan jenazahku. Padahal aku tidak lebih sekedar ingin berkontemplasi di kaki langit. Tentang betapa kerdilnya sebenarnya manusia di hadapan Tuhan. Aku sekedar ingin merenungi perjalananku. Melihat lebih dalam ke diriku sendiri. Berbincang dengan hatiku dan mengistirahatkan sejenak pikiran dari hiruk pikuk pergulatan dunia. 

***

Syafira pernah bilang kalau organ yang paling luar biasa adalah otak. Kenapa? Karena otak bekerja 24 jam selama 365 hari tanpa henti mulai dari lahir sampai kita mati. Agaknya itu perlu dikoreksi. Sepanjang yang pernah kulalui otak hanya bekerja 24 jam selama 365 hari mulai dari lahir sampai kita jatuh cinta. Sebab saat kita jatuh cinta, otak tidak akan bekerja. Ia mengalami disfungsi. Khayalannya kerap tingkat tinggi, nalar berpikirnya abnormal dan kalkulasinya masuk ke fase anomali. 

Seperti yang sedang terjadi padanya sekarang, ledekku. Hidup memang aneh, terkadang tak sesuai ekspektasi. Namun di lain sisi, terkadang pula hidup melebihi ekspektasi. Kurang ataupun lebih, pada akhirnya yang terpenting adalah cara untuk menerima dan memahaminya dengan lapang dada.

Pagi itu ayah tidak biasanya menghubungiku. Meminta tolong untuk membeli selusin botol pakan organik dan segera mengantarkannya ke sebuah alamat. Kata ayah itu pesanan teman lamanya. Pensiunan yang sekarang menjadi pengusaha ternak ikan lele. 

Lihat selengkapnya