Mungkin belakang ini aku memang terlihat dekat dengan Naya, mulai dari berangkat sekolah , makan di kantin, atau Naya yang menemani ku belajar.
Seperti sekarang kami sedang berada di rooftop sekolah, mengajari ku materi yang aku tak mengerti— jelas dan lembut. Biasanya kan dia galak.
Naya menerima botol minuman dariku, dan aku kembali duduk. Karena aku baru saja kembali dari kantin.
“Kamu harus buat integralnya dulu satu-satu, terus—
— Ray, aku luangin waktu buat kamu, jadi fokus sebentar”
Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal, ini yang kedua kalinya aku terciduk karena memperhatikan Naya. “Ah, maaf. Lanjut lagi”
Dan Naya kembali menjelaskan meskipun sebenarnya aku tidak terlalu paham dia berbicara tentang apa, tapi ya sudahlah.
Dan aku mulai bosan, menguap, lalu menyandarkan tubuhku pada kursi. Menyadari itu Naya menutup buku “Gimana mau bisa kalau kamu males begini”
“Aku capek, gapaham juga”
Puk!
Aku meringis, mendapat sebuah lemparan pulpen pada kening— perih.
“Jadi kamu gak nyimak apa yang aku jelasin gitu?!”
Cengiran bodohku membuat Naya menggeram kesal. Wajar, sih.