Halo, namaku Evan. Terima kasih untuk Adam yang memperbolehkanku menitipkan tulisanku ini kepadanya. Sebelumnya mohon maaf, aku tak terbiasa menulis dengan sisipan kata-kata yang buatku memang sulit untuk dimengerti, walau kadang-kadang keabstrakan itu indah. Ketidakjelasan membuat pertanyaan dan memancing empati. Biar aku buat gamblang kisah ini.
Aku berasal dari sebuah kota bernama Toe di tahun 2058. Ah, tak apa kalian tidak percaya, intinya bukan tentang percaya atau tidak. Akupun tidak perlu pengakuan berlebih tentang ini. Biar kudeskripsikan sedikit. Kota itu penuh dengan warna putih dan kelengangan. Tahun itu adalah tahun yang cukup sulit. Tenang, belum ada kiamat, atau perang dunia ketiga. Belum juga ada mobil berterbangan.Tidak perlu terlalu jauh membayangkan film-film hollywood masa depan. Tapi keserbaan putih memang benar adanya. Gedung-gedung lumayan tinggi, jalanan selebar 6 ruas mobil. Tapi hanya 2 ruas yang boleh dijadikan jalur. Semuanya sangat lengang. Tiap rumah diberi tanda jarak sekitar 4 meter karena peraturannya seperti itu. Dan yang lebih menyebalkan, hmmm.... sebentar, agaknya ditahunmu sedang ramai perbincangan virus Covid 19 ya? ahhhh, ya ya ya. Kalau boleh jujur, tenang saja. Virus itu tak seberbahaya faktanya. Kembali lagi, hal yang lebih menyebalkan tadi pasti kau setuju denganku. Disini manusia tidak diperbolehkan saling bersentuhan semenjak virus baru bermutasi dan telah bersarang kepada setiap tubuh manusia. Kira-kita dua tahun yang lalu.