“Pak Hadi, bisa bantu jadi wasit futsal antar kelas, nggak?” tanya Pak Zayn, guru olahraga yang biasanya memegang ekstrakulikuler futsal.
Hadi baru saja duduk di ruang guru, belum sempat menyesap kopi sachet yang baru diseduh. Ia menoleh, lalu mengangguk pelan. “Kelas berapa?”
“8A lawan 8C. Final turnamen internal. Saya harus dinas luar sebentar lagi, jadi nggak bisa ngawasin.”
Hadi mengangguk lagi. “Oke, saya bantu.”
Sepuluh menit kemudian, Hadi sudah berdiri di pinggir lapangan indoor sekolah. Murid-murid dari dua kelas bersorak, sebagian duduk di pinggir, sebagian berdiri. Suasana ramai, penuh semangat. Tapi Hadi tahu, pertandingan antar kelas selalu berpotensi jadi ajang drama.
Peluit dibunyikan. Pertandingan dimulai.
Awalnya berjalan lancar. Bola berpindah dari kaki ke kaki, beberapa tembakan ke gawang berhasil diblok. Hadi berdiri di tengah lapangan, matanya awas, peluit di tangan.
Menit ke-12, seorang pemain dari 8C terjatuh setelah berebut bola. “Pak! Dia sengaja dorong saya!” teriaknya.
Hadi menggeleng. “Tadi kamu sama-sama rebut bola. Nggak ada yang sengaja dorong.”
“Lho, Pak! Saya jatuh, lho!”
“Jatuhnya karena kalian sama-sama lari cepat. Bukan karena didorong.”