Hari itu, langit Surabaya masih kelabu, seolah belum selesai menangisi kejadian kemarin. Zea melangkah masuk ke kelas 9B dengan langkah ringan, membawa tas ransel dan botol minum bergambar bunga matahari. Ia baru sembuh dari demam ringan, dan hari ini adalah hari pertamanya kembali ke sekolah setelah izin dua hari.
Begitu masuk kelas, Zea langsung merasa ada yang berbeda.
Biasanya, teman-temannya menyambut dengan tawa, candaan, atau sekadar sapaan singkat. Tapi pagi itu, suasana kelas terasa sunyi. Beberapa anak duduk dengan kepala menunduk, sebagian lain berbisik pelan. Tidak ada yang tertawa. Tidak ada yang menyapa.
Zea duduk di bangkunya, membuka buku catatan, lalu menoleh ke arah Tasha yang duduk di sebelah.
“Sha, kenapa, sih, kelas kita kayak kuburan?” bisiknya.
Tasha menoleh sebentar, lalu mendekat. “Kamu nggak tahu, ya?”
Zea menggeleng. “Aku, kan, sakit dua hari. Emang ada apa?”
Tasha menatap kanan-kiri, lalu berbisik, “Ada anak yang jatuh dari lantai dua.”
Zea terbelalak. “Hah? Siapa?”
“Belum tahu pasti. Tapi katanya kelas delapan Jatuhnya parah. Gara-gara pagar roboh.”
Zea menutup mulutnya. “Ya, ampun…”
Tasha melanjutkan, “Dan katanya… Pak Hadi yang bikin pagar itu goyang.”
Zea mengernyit. “Pak Hadi?”
“Iya. Ada yang bilang dia nyuruh anak itu bersandar di pagar. Terus… pagarnya lepas.”
Zea diam. Ia menatap meja, mencoba mencerna informasi itu.
“Siapa yang bilang gitu?” tanyanya pelan.