Sore itu, hujan turun cukup deras di luar jendela. Zea duduk di meja makan, masih mengenakan seragam sekolah. Di depannya, ada dua stoples kaca bening. Masing-masing berisi sesendok nasi putih. Ayahnya berdiri di samping, menempelkan label kecil di masing-masing stoples.
Yang satu bertuliskan: “Nasi Pintar”, dan yang satu lagi: “Nasi Bodoh”.
Zea mengernyitkan dahi. “Ayah, ini ngapain? Mau ngomongin soal… nasi?”
Sang ayah tersenyum. “Ini bukan soal nasinya, Zea. Ini soal kamu. Dan orang-orang di sekitarmu.”
Zea menatap stoples-stoples itu dengan penasaran. “Ini eksperimen, ya?”
“Iya. Ayah pernah baca tentang ini. Kita akan bicara pada nasi ini setiap hari. Yang satu kita puji, yang satu kita marahi.”
Zea mengangkat alis. “Terus… nanti gimana?”
“Kita lihat apa yang terjadi. Yang paling penting dari hasilnya, kita belajar sesuatu dari prosesnya.”
Zea mengangguk pelan. Ia tahu, ayahnya bukan tipe orang yang melakukan sesuatu tanpa alasan. Sebagai seorang psikiater, ayahnya sering menggunakan cara-cara tak biasa untuk menjelaskan hal-hal yang rumit.
Akhirnya Zea menuruti, meski ia masih belum paham.
***
Tiga hari berlalu. Setiap pagi dan sore, Zea dan ayahnya berbicara pada stoples-stoples itu.
Pada “Nasi Pintar”, Zea berkata, “Kamu hebat. Kamu pinter.”
Pada “Nasi Bodoh”, ia berkata dengan nada datar, “Kamu jelek. Kamu nggak berguna. Kamu bikin masalah.”
Awalnya, Zea merasa aneh. Tapi lama-lama, ia mulai merasakan sesuatu.