Pagi itu, Zea memutuskan untuk berjalan-jalan keliling sekolah saat jam istirahat. Bukan karena bosan, tapi karena pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. Tentang gurunya. Tentang kata-kata. Tentang bagaimana satu kalimat bisa mengubah cara seseorang melihat dirinya sendiri.
Ia berjalan melewati lorong kelas 8, lalu menuju taman kecil di belakang perpustakaan. Di sana, ia melihat Ita—guru seni budaya—duduk sendirian di bangku panjang, menatap buku yang terbuka di pangkuannya. Tapi matanya tidak bergerak. Seperti sedang melamun.
Zea mendekat pelan. “Bu Ita?”
Ita menoleh, tersenyum tipis. “Oh, Zea. Lagi keliling, ya?”
“Iya, Bu. Biasa, cari udara segar.”
Ita menutup bukunya. “Bagus. Udara segar bisa bantu pikiran tetap jernih.”
Zea mengangguk, kemudian melanjutkan langkahnya ke ruang laboratorium IPA. Di sana, ia melihat Pak Damar—guru IPA—sedang mengatur botol-botol. Beberapa adik kelasnya, tepatnya kelas 7, berdiri di luar, mengintip sambil tertawa.
“Pak Damar, tuh, mirip kayak ilmuwan gagal,” bisik salah satu anak.