Zea duduk di meja belajarnya, laptop menyala, jendela kamar setengah terbuka. Angin sore masuk pelan, membawa suara anak-anak kecil bermain di luar. Tapi Zea tidak terganggu. Matanya fokus ke layar.
“AI, tolong buatkan sebuah puisi tentang guru,” tulisnya di kolom chat.
Beberapa detik kemudian, jawaban muncul:
“Guru adalah pelita dalam gelap
Menuntun langkah tanpa lelah…”
Zea mengernyit. “Pelita lagi, pelita lagi,” gumamnya. “Masa, sih, dari dulu selalu ‘pelita’?”
Ia mengetik ulang. “Bikin yang lebih segar. Jangan terlalu kuno.”
AI menjawab:
“Di lorong sunyi, kau berdiri
Menyulam harapan dalam sunyi…”
Zea menghela napas. “Apaan, sih, kok, malah berlebihan. Pasti banyak yang bilang ‘pret’ kalo aku bacain ini.”
Ia mencoba lagi. “Bikin puisi yang sederhana, tapi menyentuh. Jangan terlalu puitis.”
AI menjawab:
“Terima kasih, guru, untuk setiap kata
Yang membuat kami percaya…”