Pagi itu, langit sedikit mendung. Lapangan sekolah sudah dipenuhi barisan siswa yang mengenakan seragam rapi. Hari Guru. Tapi bagi sebagian besar, ini hanya upacara biasa.
Zea berdiri di dekat panggung kecil, memegang map bening berisi puisinya. Tangannya dingin. Jantungnya berdebar seperti hendak berperang.
Ayu datang tergopoh-gopoh, membawa kantong plastik besar.
“Ini dia, konsumsi kita!” katanya bangga.
Zea mengintip ke dalam. “Roti?”
Ayu mengangguk. “Satu pak roti sobek isi cokelat. Lumayan buat ngenyangin perut guru-guru.”
Zea mengerutkan dahi. “Katanya mau dikasih nasi goreng?”
Ayu nyengir. “Nggak mungkinlah! Pakai uangnya siapa, coba? Warung nasgor dekat rumahku nggak mau kasih diskon.”
Zea tertawa kecil. “Ya, udahlah, yang penting niatnya.”
Ayu meletakkan kantong plastik itu di sudut tersembunyi. “Kamu siap?”
Zea mengangguk. “Siap... atau pura-pura siap.”
Ayu menepuk pundaknya. “Kamu nggak sendiri. Kita sama-sama berada di panggung. Kita sama-sama malu ditatap orang.”
Suasana lapangan mulai hening. Kepala sekolah naik ke podium, memberi sambutan singkat. Lalu, tanpa banyak pengantar, nama Zea disebut.
“Selanjutnya, mari kita dengarkan persembahan dari salah satu siswa kita, Zea.”
Langkah Zea terasa berat. Tapi ia maju. Map di tangan, napas ditahan. Semua mata menatap. Tapi ia hanya menatap satu arah: ke barisan guru-guru di sisi kanan panggung.
Ia berdiri di depan mikrofon. Diam sejenak. Lalu membuka mapnya.
Suara Zea pelan, tapi jelas. Inilah puisi yang ia bacakan: