Ruang guru siang itu dipenuhi aroma kopi sachet dan suara kipas angin tua yang berderit. Hadi duduk di kursinya, map pelajaran terbuka, tapi matanya kosong. Bayangan puisi Zea tadi masih menempel di benaknya.
Desi, yang duduk di sebelahnya, menaruh cangkir teh di meja. Ia menatap Hadi sejenak, lalu berkata pelan, “Puisi tadi… bikin saya ingat betapa sering kita dianggap nggak penting. Kita berdiri di depan kelas, bicara berjam-jam, tapi siapa yang benar-benar mendengar?”
Hadi menoleh. “Panjenengan ngerasa gitu?”
Desi menghela napas. “Bukan cuma njenengan yang ngerasa, Pak. Saya juga.”
Yahya, guru bahasa Jawa, yang duduk di depan mereka, menoleh ke belakang. “Saya juga merasa demikian. Saya capek ngatur unggah-ungguh dan memarahi mereka. Rasanya seperti… berbicara sama angin.”
Hadi menatap mereka, bingung harus berkata apa. Tapi tiba-tiba, Rendra ikut menimpali. “Anak-anak selalu bilang saya kejam. Padahal saya hanya ingin mereka belajar disiplin.”
Zayn, sang guru olahraga, menepuk meja. “Saya juga. Mereka pikir saya cuma suruh lari keliling lapangan. Padahal saya ingin mereka sehat. Tapi siapa yang peduli?”
Suasana ruang guru berubah. Satu per satu guru mulai bicara, membuka luka yang selama ini disimpan. Ada yang mengeluh soal gaji, ada yang bercerita tentang keluarga yang tak mengerti, ada yang sekadar mengaku sering merasa sendirian.
Hadi mendengarkan. Semakin lama, semakin banyak suara yang keluar. Ruang guru yang biasanya penuh basa-basi kini jadi ruang pengakuan.
Hadi akhirnya berkata pelan, “Saya kira… saya yang paling menderita. Tapi ternyata kita semua sama. Kita semua punya luka.”