Esoknya, matahari menembus jendela kelas 7E dengan cahaya tipis. Suara kursi berderit, buku dibuka, dan bisikan kecil memenuhi ruangan. Hadi berdiri di depan papan tulis, spidol di tangan.
“Anak-anak, kerjakan halaman 52,” katanya. Sebagian langsung membuka buku, sebagian masih sibuk mengobrol.
“Raka, jangan ngobrol dulu. Lala, tolong fokus ke papan tulis.” Suara Hadi tegas, tapi tidak lagi penuh amarah. Ia tahu, setiap anak sedang berjuang dengan caranya sendiri. Terutama menghadapi rasa lapar yang melanda karena jam istirahat terlalu lama.
Seorang murid mengangkat tangan. “Pak, saya nggak ngerti bagian ini.” Hadi mendekat, menunduk, menjelaskan. Murid itu mengangguk, dan Hadi melihat ia bisa kembali mengerjakan soal dengan mudah.
Di ruang guru, suasana kembali seperti biasa. Desi sibuk mengoreksi tumpukan kertas, wajahnya serius. Yahya bercanda soal bahasa Jawa, membuat beberapa guru tertawa kecil. Zayn ribut tentang pertandingan bola, suaranya memenuhi ruangan.
“Pak Hadi, modul ajar minggu depan sudah siap?” tanya Siti sambil menatap laptopnya.
“Sedang saya susun, Bu,” jawab Hadi sambil tersenyum.
Rutinitas itu tidak berubah. Tapi kali ini, Hadi melihat mereka dengan cara berbeda. Ia tahu, setiap rekan guru juga sedang berjuang: menyusun modul, membina siswa, menghadapi tekanan dari berbagai arah.