Anne masih terpaku, gemetaran di depan cermin.
Saat itu, seorang pria dengan rambut pirang yang ditata hingga bergelombang dan bergelung-gelung menyeruak memasuki kamar.
Melihat Anne, pria berkumis panjang melintang itu menutup mulut dan tak bisa menahan tangisnya. “Astaga, benar rupanya... Puji syukur pada Vadis!” serunya.
Sang ibu kini berderai air mata bahagia. Tanpa peduli apa pun lagi, ia memeluk gadis yang berdarah-darah itu. “Anne, putriku sayang! Ini sungguh mukjizat!”
Namun si wanita gemuk melihat ekspresi kosong di wajah Anne sejak tadi. Katanya, “Maaf, Yang Mulia. Tapi tampaknya Tuan Putri kehilangan sebagian ingatannya.”
Si rambut gelung yang bersikap sebagai ayah Anne memegangi kepala dengan dua tangan sambil berseru ke arah Anne, “Apa? Kau tak mengenali orangtuamu?”
“Aku ini ibumu, Permaisuri Mathilda!” timpal sang ibu. “Dan ini ayahmu Henry, Raja Lore!”
Namun ekspresi wajah Anne tetap kosong.
Henry menepuk dahi. “Ya ampun!”
Mathilda berseru, “Padahal bocor di kepalanya sepertinya menghilang, tapi kenapa...?!”
“Akan kucari tabib terbaik untuk mengembalikan ingatannya!” tanggap sang Raja. “Dokter, dukun, siapa saja!”
Anne hanya bisa ternganga. Celotehan kedua orangtuanya teredam oleh berjuta pertanyaan yang membanjiri benaknya.
==oOo==
Singkat cerita, Anne yang makin segar segera dimandikan oleh pengasuh dan pelayannya. Kasur, bantal, selimut dan segala kain yang telah bernoda darah, diganti dengan yang baru seketika, lalu bersama “gaun kematian” Anne disingkirkan untuk dibakar.
Setelah dibersihkan sebersih-bersihnya, sang Putri Raja lantas mengenakan pakaian tidur dan dibaringkan kembali di ranjang. Ia jelas butuh istirahat, apalagi peristiwa yang baru saja dialaminya pasti membuatnya trauma, tak hanya menyisakan bilur-bilur memar biru di sekujur tubuhnya saja.