Alceste, Ibu Kota Kerajaan Lore adalah salah satu kota yang paling terkenal dan paling sarat peristiwa bersejarah dan legenda di Terra Everna.
Tak hanya itu, Alceste terkenal sebagai pusat kebudayaan, teknologi dan ilmu pengetahuan. Semua itu tercermin dalam keseharian para warga kota. Misalnya, di kota-kota Benua Aurelia pada umumnya hanya ada sepeda, kuda dan kereta kuda yang lazim digunakan di jalan-jalan sebagai alat transportasi utama. Beda dengan di Alceste, beberapa gelintir orang terpandang mengendarai semacam kereta tanpa kuda yang bermesin uap. Kendaraan semacam itu tampak aneh, tapi menonjolkan status sosial dan prestise pemiliknya.
Maka, bukanlah pemandangan aneh bila kita melihat mobil-mobil uap hilir-mudik di salah satu jalan raya paling ramai di Kota Alceste, yaitu Chandler Avenue. Dinamai demikian sebagai salah satu tanda penghormatan, mengenang salah seorang pahlawan terbesar di Lore, yaitu Robert Chandler.
Satu lagi tanda penghormatan bagi sang pahlawan adalah sebuah patung batu setinggi enam meter di bundaran depan taman kota, masih di Chandler Avenue. Patung itu menampilkan sosok Robert Chandler yang berdiri tegak dan menegadah, mengangkat Golok Naga Apinya, Grimlock ke udara.
Seharusnya semua insan yang melihat patung itu terkenang pada sejarah kepahlawanan Robert, salah seorang Ksatria Cahaya dalam salah satu perang terbesar melawan Laskar Kegelapan di Zaman Sihir yang silam, atau setidaknya mengagumi keindahan dan kehalusan detil pahatan patung itu.
Namun kenyataannya, hampir semua orang yang lewat hanya berlalu begitu saja tanpa peduli pada monumen itu. Lebih parah lagi, seorang pria bertopi lebar dan berambut putih menatap ke arah patung itu sambil mendengus sebal. Paruh bawah wajahnya dari hidung sampai dagu tertutup kain tipis hitam seperti masker.
Pria itu berjalan menghampiri seorang remaja laki-laki yang berseru, “Surat kabar! Sepuluh zenny! Surat Kabar Alceste Heralds! Kabar terhangat dari istana! Sudah dua bulan Putri Anne tidak tampil di muka umum sejak insiden penembakan oleh sniper yang lalu. Itu karena si pelaku belum tertangkap dan mungkin dia akan beraksi kembali!”
Si masker hitam tak perlu mendengarkan sisanya. Ia memberi sekeping uang logam pecahan sepuluh geine pada si tukang koran sambil berkata, “Satu, ya.” Lalu ia mengambil satu surat kabar dari tumpukan yang digelar di trotoar dan pergi sebelum si penjaja surat kabar bisa meneliti tampangnya lebih cermat.
Dengan cepat, luwes dan nyaris tanpa suara si pria berjas panjang serba hitam menyusup di antara keramaian orang, kereta kuda dan mobil uap, lalu masuk ke gang di antara dua gedung.
Setelah yakin betul tak ada siapa-siapa lagi di gang itu, si pria berambut putih membaca surat kabar. Berita tentang Putri Anne berada di halaman pertama, walaupun bukan berita utama. Setelah membacanya, ia bernapas lega karena tak ada gambar sketsa si sniper di sana.
Tiba-tiba terdengarlah suara seorang pria lain. “Ironis sekali, seorang pahlawan besar kini telah beralih menjadi penjahat.”
Si sniper bereaksi amat cepat. Ia mengeluarkan, memicu dan menodongkan pistolnya ke arah si pembicara yang ternyata adalah Vittorio Spaldini, si tukang sulap.
“Satu kata sindiran lagi darimu dan kau akan mencicipi rasa timah hitam,” kata si rambut putih dengan wajah yang amat dingin.
“Sabar dulu, Robert,” kata Spaldini. “Aku menemuimu hanya untuk menyampaikan pesan dari ketua kita.”
Robert tak menurunkan tangannya sedikit pun, “Pesan apa?”
Spaldini lantas menggeser laras pistol Robert dengan ujung jari tangan kanannya. “Kata ketua, kau tak seharusnya muncul lagi di Alceste sampai semua pemberitaan mereda dan pihak istana telah melupakan insiden ulahmu itu.”
“Kapan persisnya itu?” Robert hanya menurunkan pistol tanpa menyarungkannya lagi, siap menembak bila Spaldini berulah atau ada orang lain ikut campur. “Aku tak tahan bersembunyi, mengurung diri saja. Aku harus segera beraksi lagi, berkontribusi demi tujuan kita.”
Si pesulap menaikkan bahu. “Sayang, bahkan aku atau ketua kita tidak tahu. Hanya Sang Sumber sajalah yang tahu betul kapan alur nasib dan takdir akan berubah. Tapi sementara itu, biarkan dulu para mata-mata kita bekerja. Siapa tahu akan ada kesempatan yang ajaib dan tak terduga. Saat itulah, kita akan beraksi kembali.”
“’Kita’? Apa maksudmu gara-gara kegagalanku, kita berempat terpaksa harus bersembunyi seperti kura-kura dalam tempurung?”
“Itu jelas. Usahaku juga gagal, dan malah lebih parah. Ada orang dengan kesaktian setara musafir antar ranah telah menggagalkan sihir hipnotis dan trik ‘Peti Kematian’-ku. Dan karena aku muncul terang-terangan, dia pasti sudah mengenaliku. Untunglah si ‘orang sakti’ itu tak bertindak sembrono dan melabrakku di depan umum, kalau tidak dia pasti akan dipermalukan dan aku pasti gagal sebelum sempat beraksi.”
Robert membuka masker, memperlihatkan wajah terkejut. “Apa? Jadi yang menggagalkan misimu itu adalah orang sakti? Atau jangan-jangan dia seorang musafir? Apa kau melaporkan tentang orang itu pada Ketua?”
“Tentu saja. Tapi karena hanya dia seorang saja yang tahu, aku masih bisa berkeliaran bebas. Tugasku kini adalah mencari si orang sakti, musafir atau entah siapa pun dia. Orang yang menghalangi urusan Vittorio Spaldini harus mati.”
“Kurasa yang menggagalkan tembakanku, bahkan balas menembakku adalah musafir antar ranah juga. Karena itulah, aku akan membantumu mencarinya, Spaldini. Tentunya asal kau tak melaporkanku pada Ketua.”
“Baiklah,” tanggap Spaldini, senyumnya mengembang lagi. “Aku tak suka padamu, pada sikapmu yang sok dingin, apalagi pada wajahmu yang sering tanpa ekspresi itu. Tapi kurasa kita bisa bekerjasama dengan baik. Ciao, Robert Chandler.”