Sebagai seorang Putri Raja, wajar saja bila Anne Galford hampir selalu mendapatkan apa pun yang ia inginkan. Pendidikan terbaik, pakaian indah, makanan lezat, perhiasan mewah sudah tersedia di depan mata tanpa perlu berusaha. Apalagi kini sahabat baik bagi Anne telah hadir dalam diri Chloe, membuat hari-hari Anne di istana jadi terkesan sempurna.
Namun, di samping semua itu, ada satu hal yang karena kondisi dan situasi luar biasa tak bisa dan tak boleh Anne dapatkan.
Hal itu adalah kebebasan.
Bebas berjalan-jalan ke luar istana.
Bebas memilih gaun yang disukai di butik-butik ternama.
Bebas menjelajah, mencari tahu hal-hal baru.
Walaupun Everna mirip dengan Bumi dalam hampir semua hal, “tempat tinggal baru” ini tetap saja masih terasa asing bagi Daini dalam diri Anne.
Masalahnya, Daini berasal dari Zaman Modern di Bumi. Segala kemajuan teknologi dan variasi hiburan yang ia nikmati selama ini sudah tidak ada. Terpaksa sebagai Anne ia harus menyesuaikan diri dengan hiburan-hiburan “kuno” seperti panggung sandiwara, resital musik klasik, buku-buku cerita, novel dan lain sebagainya.
Itulah sebagian keluhan dan ganjalan hati yang Anne keluhkan pada Chloe, yang seperti halnya Arcel mengetahui jati diri Anne yang sesungguhnya, yaitu sebagai wadah bagi roh Daini yang telah kehilangan tubuhnya.
Entah apakah akhirnya nanti Daini bisa lepas dari kebiasaan lamanya sebagai gadis modern dan beradaptasi penuh dengan “zaman kuda gigit besi”, langkah demi langkah harus ia tempuh untuk beradaptasi dengan kehidupan sebagai Putri Raja. Walaupun usaha itu dipersulit dengan seringnya terjadi percobaan pembunuhan terhadap Anne sehingga ia harus “dipingit”.
Hampir tak terasa, “masa indah” Anne sudah berlangsung selama dua minggu.
Suatu hari di minggu ketiga, tak disangka-sangka Permaisuri Mathilda mendatangi kamar Anne pagi-pagi sekali. Anne yang baru saja terjaga cepat-cepat bangkit dan hendak berdiri menyambut ibunya. Chloe juga ikut masuk bersama Permaisuri. Sepertinya kedua wanita itu sempat bertemu dan berbincang-bincang dulu sebelum memasuki kamar Anne.
“Tak usah berdiri, Nak. Tetap saja di ranjangmu,” kata Mathilda dengan lembut.
Anne tetap duduk di ranjang seperti suruhan ibunya.
Mathilda lantas duduk di sisi ranjang Anne. Sang Putri sempat mengerutkan dahi, takut sang ibu marah karena ia terlalu “malas”. Tapi karena ekspresi wajah Permaisuri tetap biasa-biasa saja, Anne menghela napas lega.