Selama alami, dalam batas kewajaran yang dapat diterima logika manusia, mustahil seorang manusia biasa bertahan hidup setelah tubuhnya tertembak dua kali di titik-titik berdekatan.
Walaupun Arcel Raine bukan manusia biasa, bahkan bisa disejajarkan dengan titisan atau setengah dewa, satu luka akibat serempetan peluru di pinggang dan satu luka tembak di pundak sudah cukup membuat kondisinya jadi amat parah.
Kabar baiknya, lapisan energi pelindung tubuhnya yang sudah tebal meredam sebagian daya peluru sehingga luka pundak Arcel tak begitu dalam dan tak sampai mengancam nyawanya. Tapi bila dibiarkan, dua luka itu bakal membuat musafir sesakti dewa itu tewas kehabisan darah.
Masih sepenuhnya sadar walau kesakitan setengah mati, Arcel menyadari kondisinya kini dan tahu apa yang harus ia lakukan. Setelah terpupuk pengalaman yang tak bakal terlampaui hampir semua musafir lainnya, Arcel memutuskan memaksa diri bangkit berdiri.
“Wah, wah, sungguh menakjubkan,” kata sang lawan, Vittorio Spaldini sambil bertepuk tangan. “Memang benar, pertarungan sesama musafir sampai mati paling mengasyikkan.”
Arcel memaksakan senyum. “Untuk sekali ini aku setuju dengan pendapatmu, Spaldini,” ujarnya. “Ini pertarungan paling nikmat setelah dulu aku memukul mundur Dedengkot Musafir Kegelapan, Gregor Engelsohn, menorehkan tanda tak terhapuskan di wajahnya. Yah, seperti rajah di pipiku ini tapi jauh lebih parah.”
Gertak sambal Arcel rupanya menuai reaksi tak terduga dari lawan. “Aku tak percaya!” hardik Spaldini. “Jangan mengada-ada kau! Mustahil musafir terkuat sepanjang masa tumbang oleh budak tak ternama! Jangan mentang-mentang kau sudah pernah mengalahkan Dedengkot Iblis, Mephistopheles juga, lantas kau besar kepala dan membual seenaknya!”
Kesepuluh jari tangan Arcel berpendar lagi, siap beraksi. “Biar kita buktikan kata-kataku tadi bualan atau tidak! Coba, apa kau bisa bertahan dari jurus yang pernah menumbangkan Engelsohn ini!” Arcel mengatupkan pangkal kedua telapak tangannya dan mengulurkannya lurus-lurus ke depan. Ia lantas menembakkan selarik sinar merah raksasa ke arah Spaldini, tentunya setelah memastikan tak ada Anne dan Chloe dalam jalur tembakannya itu.
Tak hanya yang terkuat dari ketujuh jurus satu warna Kristal Pelangi, sinar merah itu juga amat cepat, lebih cepat dari peluru pistol. Alhasil, Spaldini tak bisa menghindar dan hanya mengulurkan kedua tangannya sendiri, mengumpulkan segala energi sihir pertahanan di kedua telapak tangannya. Gilanya, sebesar apa pun daya yang Spaldini kerahkan untuk menepis, bahkan membuyarkan jurus lawan, sinar merah Arcel malah menekan makin kuat nan dahsyat. Gigi-giginya gemeletak, kerutan-kerutan seperti urat nadi mulai muncul di wajahnya, seakan ia tengah berusaha agar dirinya tak meledak.
Di ujung segala daya usaha, akhirnya benteng pertahanan sang pesulap bobol juga. Energi perusak dari sinar merah membanjir, mengikis lapisan energi pelindung tubuh yang adalah pertahanan terakhir Spaldini. Di batas ketahanannya, giliran si kumis persegi yang terpelanting ke belakang dengan gerakan seperti terpuntir.
Tanpa terduga, dalam posisi melayang tanpa kendali itu Spaldini masih sempat menyapukan tangan sambil menembakkan pistolnya lagi. Peluru yang lagi-lagi terbang berkelok tanpa ampun menghunjam sisi perut Arcel, membuat si rambut merah juga terpelanting ke belakang dan jatuh telentang di jalanan.
Habislah sudah, Arcel Raine sang musafir antar ranah bakal tewas di Taman Everglades karena kehabisan darah. Karena sudah tak ada harapan lagi, mau tak mau ia menghimpun seluruh sisa energinya untuk mengerahkan satu tembakan terakhir.
Entah apakah Arcel akan kembali ke Alam Roh atau langsung ke Alam Baka, ia harus membawa serta Spaldini bersamanya. Kalau Anne selamat, setidaknya Chloe atau musafir lain dari Ordo Altair akan ditugaskan untuk melanjutkan pekerjaannya.
Namun, keadaan tak semudah yang Arcel kira. Saat energi yang dikumpulkan nyaris cukup untuk membuatnya bangkit berdiri, tiba-tiba sosok Spaldini muncul dan menyeringai ke arah Arcel. Walaupun wajahnya sudah berdarah-darah, seringai si pesulap lebih mengerikan dari sebelumnya. Ditambah ia menodongkan pistol lurus-lurus, siap membuat isi kepala Arcel berantakan.
“Selamat jalan saja kau ke akhirat. Sekalian kau beritahu pemimpinmu bahwa misimu sudah gagal dan kau mati di tanganku, Vittorio Spaldini.” Jari telunjuk si pesulap menekan pelatuk pistol, memastikan akhir riwayat Arcel dengan dua peluru yang tersisa.
Tiba-tiba Arcel berseru, “Kau ikut denganku, Spaldini!”
Dengan segenap energi, daya dan tenaga dalam yang tersisa, dalam posisi telentang Arcel mengulurkan kedua telapak tangan lurus-lurus. Dari kesepuluh jarinya terpancarlah sepuluh larik sinar energi tujuh warna Kristal Pelangi sekaligus.
“A-apa!?” Di jarak sedekat itu, Spaldini tak bisa menghindar. Sebelum ia sempat menahan pelatuk pistol, kesepuluh larik sinar tajam sudah terlanjur menghunjami sekujur tubuhnya.
Untuk sesaat, tubuh Spaldini seakan melayang di udara tanpa bergerak sendiri, ditembusi sepuluh sinar warna-warni. Wajahnya menegadah dan kedua matanya terbelalak, namun sudut-sudut bibirnya mengulum senyum seperti maniak.
Saat tubuhnya terpelanting ke belakang, sepatah kata sempat terucap dari mulutnya, “Inikah rasanya... kematian? Sungguh... nikmat!”
Vittorio Spaldini, si musafir antar ranah pesulap dan pembunuh psikopat sudah meregang nyawa sebelum tubuhnya jatuh dengan suara berdebam keras di jalanan taman.
==oOo==