Sepanjang sejarah Everna, mungkin baru Putri Anne Galford yang selamat dari lebih dari tiga kali percobaan pembunuhan.
Apalagi setelah mengalami dua kali percobaan pembunuhan dalam satu malam, Siapa pun, tak terkecuali gadis Zaman Mesin berjiwa gadis Zaman Modern pasti mengalami trauma mendalam.
Walaupun trauma yang dialami Anne jauh lebih parah daripada manusia mana pun di Terra Everna, si gadis masih mampu tampak tegar. Apalagi kini ia membantu Chloe Hewitt memapah sang penyelamat, Arcel Raine yang setengah pingsan menyusuri jalan-jalan remang-remang di Alceste malam-malam buta.
Untunglah letak Distrik Kebudayaan Chandler bersebelahan dengan Distrik Pasar Wylesbury, jadi kedua gadis itu tidak terlalu kelelahan saat tiba di tempat tujuan.
Kini, dengan gaun opera yang basah oleh tubuh yang sudah berkeringat parah, Anne berdiri di depan pintu Raine’s Deli, toko roti yang kerap ia kunjungi bersama Trevor Branson, kekasihnya merangkap sahabat masa kecilnya. Anne menatap pintu yang baru saja diketuk olehnya itu dengan wajah harap-harap cemas.
“Apa kau yakin pemilik toko roti ini mau menerima kita?” tanya Chloe. “Apa dia bakal percaya kalau kita sedang membawa kakek moyangnya ke tempat yang dulu pernah menjadi rumah masa kecil Arcel Raine?”
“Aku tak tahu,” jawab Anne sambil mengurut dahinya sendiri. “Yang pasti, aku harus mencobanya. Kalaupun tak di sini, aku rela ke tempat mana pun asal bukan Istana Marlham.”
“Aku paham maksudmu. Musuh sudah terlalu sering mencoba membunuhmu di istana. Bagaimana kalau di rumah Trevor saja?”
Anne menggeleng. “Tidak, Trevor putra Perdana Menteri dan punya akses langsung pada Raja dan Permaisuri. Aku ingin sekali bersama dengannya, tapi kaitannya dengan Istana itulah yang membuatku takut. Amat takut.”
Kedua gadis kembali terdiam, sementara pemuda yang mereka papah sudah tak sadarkan diri. Entah bagaimana jadinya nanti andai mereka gagal di tempat ini.
Tiba-tiba pintu kayu toko roti berderit terbuka. Anne dan Chloe menoleh dan melihat seorang gadis berambut merah jambu pucat berdiri di ambang pintu. Kedua mata di balik kacamata berlensa bundarnya tampak kurang dari setengah terbuka.
Sambil menguap menahan kantuk, gadis itu berujar, “Ada apa? Maaf, kami tak melayani pembeli malam-malam begini...”
Anne menyela, “Emily? Emily Raine, bukan? Masih ingatkah kau padaku?” Ia sengaja melangkah ke dekat lilin yang dibawa si gadis berkacamata, memperlihatkan raut wajahnya sejelas-jelasnya.
Emily membetulkan letak kacamatanya. Ia kembali menatap Anne dan terperangah. “A-astaga!” serunya. “P-Putri Anne!? Ada apa Tuan Putri datang malam-malam kemari? Apa yang terjadi?”
Anne menempelkan jari telunjuk di bibirnya. “Psst, jangan keras-keras,” katanya. “Ceritanya panjang. Kami sedang dalam bahaya sehingga harus bersembunyi. Pilihan terbaik, tempat yang paling aman di Alceste setahuku adalah di sini, di Raine’s Deli.”
Ekspresi Emily berubah dari terperangah jadi mengerutkan dahi. “Keterangan Tuan Putri tak lengkap. Aku jadi ragu apakah aku sebaiknya menerima Yang Mulia di tempatku atau tidak.”