Sebagai pria yang selalu mengandalkan logika dalam segala hal, Trevor Branson tak pernah sebingung ini seumur hidupnya.
Pasalnya, saat terjadinya insiden percobaan pembunuhan di gedung opera beberapa hari silam, Putri Anne malah menghilang bersama dayang dan pengawal pribadinya.
Yang paling parah, Anne tak mengajak Trevor lari bersamanya, padahal Trevor adalah kekasih Anne. Kini, Anne malah menghilang tak tentu rimba, tak kunjung kembali ke istana. Karena itu Trevor jadi bulan-bulanan berondongan pertanyaan dari pihak kepolisian.
Interogasi berjam-jam di kantor polisi sungguh telah menguras energi dan pikiran Trevor. Namun itu belum seberapa dibanding tekanan dari perlakuan sang kekasih terhadap dirinya.
Akibatnya, si psikiater terlalu tampan mengalami stres, depresi dan tekanan batin yang berat, sehingga ia tak bisa praktek.
Hingga saat ini, Trevor hanya di rumah saja, membolak-balik buku-buku tentang perilaku kejiwaan yang tak lazim. Namun, ia sama sekali tak menemukan sindrom dan contoh kasus yang cocok dengan kasus Anne.
Saat pertama menangani Anne dulu, Trevor tak kunjung menemukan penyebab pasti “amnesia” dan perubahan perilaku Anne yang amat drastis, dari naif dan lembut jadi aktif dan punya pemikiran tak terduga.
Untunglah Trevor memiliki status menguntungkan sebagai teman masa kecil Anne. Alhasil, ia berhasil “menjinakkan” Anne, bahkan merebut hati gadis itu dan membuat sikapnya jadi makin “wajar”, sesuai usia, masa dan tempat di mana ia hidup. Lambat laun Anne berubah menjadi seorang Putri Raja seutuhnya seperti dahulu, tentunya sudah berkembang menjadi lebih dewasa.
Sayang beribu sayang, Insiden Gedung Opera Caulaincourt memicu “perilaku aneh” Anne lagi, sehingga Trevor jatuh dalam jurang kegalauan.
Ironis, seorang psikiater dibuat depresi oleh pasiennya sendiri.
Hari ini, matahari sudah tinggi. Trevor masih saja duduk-duduk di teras rumah. Sesekali ia mengecap teh chamomile panas sambil menatap kosong ke arah kota di kejauhan.
Kau pasti ada dalam salah satu bangunan di sana, Anne. Tapi yang mana? Vadis, kumohon beri aku petunjuk, pertanda, apa saja. Aku ingin bertemu dengannya lagi. Anne, aku merindukanmu lebih dari gurun merindukan hujan, batin Trevor.
Tiba-tiba, sebuah suara terngiang dalam benak Trevor. Carilah dalam kenanganmu. Dalam kenangan yang kau bagi dengannya.
Kedua mata Trevor terbelalak. Ia tersentak bangkit dari tempat duduknya, kacamatanya nyaris jatuh dan sempat ia pegang.
Spontan Trevor menoleh ke belakang, mencari sumber suara misterius yang membisikinya tadi. Namun yang ia lihat adalah sang ayah, yaitu Stuart Branson. Aneh, suara tadi itu suara pria setengah baya, sedangkan suara ayahnya kentara lebih berat daripada itu.
Seakan membuktikan asumsi Trevor, Stuart yang berpostur tinggi dan agak tambun menegur dengan suara berat, layaknya politikus yang sudah amat terlatih berorasi, “Tenang saja, Nak. Ini Ayah. Lagipula, Ayah ingin bicara langsung dengan dirimu, bukan mengendap-endap seperti pencuri atau semacamnya.”
Entah Trevor harus merasa lega atau sebaliknya, yang pasti logika menuntutnya untuk bertanya, “Benarkah? Bukankah tadi ayah baru saja membisiki aku?”
Sebagai sesama penganut aliran “kepercayaan terhadap logika di atas nurani”, Stuart menjawab, “Ayah tidak berniat menanam sugesti apa pun, apalagi menggunakan telepati atau hal-hal klenik lainnya pada anak sendiri. Kamu sendiri yang berkata tak tertarik dengan politik dan intrik-intriknya, yang membutuhkan logika tingkat tinggi. Justru kau malah mendalami ilmu psikologi, yang membuatmu sering berhalusinasi, bahkan frustrasi sendiri. Benar ‘kan kata Ayah?”
Tentu Trevor tak mau kalah debat dengan si politikus kawakan. “Ya, Ayah ada benarnya, walaupun tak sepenuhnya. Justru logika tingkat tinggi amat berguna dalam psikologi, sehingga aku tak pernah berhalusinasi, apalagi berasumsi tanpa daar. Dan semua profesi, baik itu psikiater maupun politikus pasti menimbulkan stres dan tekanan dalam pelbagai tingkatan. Apalagi bila kita berada di posisi puncak, sebagai Perdana Menteri, misalnya.”
Kali ini giliran Stuart yang terenyak. Mungkin bukan baru kini ia menyadari bakat politik Trevor yang terpendam, bahkan bisa jadi melampaui dirinya. Tapi gengsinya sebagai politikus membuat Stuart tak mau mengakui itu di hadapan putranya sendiri.
Tanpa disadarinya, justru sikap Stuart itu makin menjauhkan Trevor dari dunia politik dan malah berkembang sebagai seorang psikiater terkemuka.
Jadi, daripada larut dalam debat kusir tak berujung, Stuart mengalihkan pembicaraan, langsung menuju pokoknya. “Ah, soal itu kita bicarakan lagi lain kali saja. Sebenarnya Ayah ingin minta bantuanmu untuk satu hal yang amat-sangat penting.”
“Apa itu?” Trevor sebenarnya sudah menebak apa maksudnya, tapi sekali lagi logikanya mencegah dirinya berasumsi.
“Ini soal kekasihmu, Putri Anne. Ayah baru selesai membaca laporan kepolisian tentang hasil permintaan keterangan darimu, tapi Ayah tak puas. Kurasa kau menutup-nutupi satu hal yang amat penting tentang Anne.”
Trevor mendelik. Ia gagal paham tentang maksud sang ayah.