Karena masih lemah dan butuh waktu agar pulih sepenuhnya, Arcel tak langsung mulai bekerja, membantu Emily di dapur.
Lagipula, Arcel masih harus belajar lagi karena oven dan semua peralatan pembuatan kue di masa ini sudah jauh lebih canggih daripada masa-masa Arcel membantu ayahnya, Marc di toko yang sama di awal Zaman Mesin berabad-abad silam.
Menatap ke kejauhan dari teras lantai dua gedung yang pernah menjadi rumahnya ini, benak Arcel menerawang. Ia mencoba menapak tilas segala tindakannya dan keputusannya, baik di Gedung Opera Caulaincourt maupun di Taman Pusat Kota.
Namun, satu hal yang pasti adalah ia sama sekali tak menyesal telah membunuh Spaldini dalam pertarungan.
Sepanjang perjalanan hidupnya, sejak menjadi Musafir Ishmina hingga menjadi musafir antar ranah, bahkan hingga detik ini, tangan Arcel sudah berlumuran darah musuh-musuh yang tak terhitung lagi banyaknya. Ia hidup abadi, namun itu harus ia jalani lewat kubangan darah.
Bisa jadi, andai aku mati, aku pasti akan ke neraka. Tersiksa lagi oleh Mephisto, Dominion, Spaldini dan semacam mereka, batin Arcel. Aku tak mau itu. Aku hanya ingin bertemu kembali dengan Ayah, Ibu, juga Vanessa atau Genna. Jadi, walau harus tenggelam dalam lautan darah sekalipun, aku tidak boleh ke neraka. Aku harus hidup terus di dunia ini hingga Vadis, atau Sang Sumber sendiri menghapus utang darah yang tak terbayarkan ini.
Arcel lantas masuk untuk memikirkan langkah berikutnya.
Beberapa saat kemudian, pintu kamar diketuk.
Tak merasakan hawa negatif, Arcel berseru, “Silakan masuk!”
Sesosok wanita membuka pintu dan masuk. Namun ia bukan Chloe, apalagi Anne, melainkan Emily Raine.
Gadis berambut pink pucat bernama belakang sama dengan Arcel itu bicara dengan agak canggung, “M-maaf sebelumnya, apa aku harus memanggilmu ‘Kakek Sesepuh’ atau semacamnya?”
“Santai saja, Emily,” jawab Arcel sambil tersenyum tipis. “Ini bukan Orien atau Al-Kalam. Panggil aku dengan nama depan saja. Kau bahkan boleh menganggapku adikmu bila perlu.”
Emily tertawa geli. Benar juga, bila diperhatikan lagi, wajah Arcel kelihatan lebih belia daripada Emily, seperti remaja tujuh belas tahun dengan gadis dua puluh tahun. Walaupun sebenarnya perbedaan tampang mereka berdua tak begitu kentara, kacamata bulat Emily lah yang membuat gadis itu kelihatan lebih dewasa daripada sebenarnya.