Tak mempedulikan sopan santun, gelap mata, Trevor Branson mendaratkan satu tinju di pipi Arcel Raine.
Entah karena tak menduga serangan mendadak Trevor itu, atau sengaja mengalah pada si psikiater yang adalah manusia biasa, Arcel tak menangkis, apalagi membalas serangan. Ia membiarkan pipinya membiru, agak memar.
“Sudah puas?” tantang Arcel.
Trevor tak menjawab dengan kata-kata. Tinjunya yang bicara, menghantami tubuh dan wajah si pria setengah dewa itu. Arcel meringis kesakitan, tubuh dan wajahnya makin dipenuhi memar, namun ia tetap bergeming.
Wajar saja, sebagai kekasih Anne, Trevor berhak marah bila pasangannya menghilang bersama seorang pria dan wanita lain. Walaupun ia belum mengetahui situasi dan kondisi sebenarnya di taman kota waktu itu, tetap saja Trevor berhak marah, curiga dan bahkan berprasangka buruk. Amarah telah membuat si psikiater gelap mata, padahal ia seharusnya ia memperhitungkan kehadiran Chloe sebagai wanita yang lebih banyak mempengaruhi Anne ketimbang Arcel yang sudah kerap kali menyelamatkan nyawanya.
Atau bisa saja luapan emosi Trevor itu karena Arcel adalah pria semata. Dan sebagai sesama pria Trevor merasa tak berdaya. Seharusnya dialah yang melindungi Anne dari segala percobaan pembunuhan itu. Seharusnya dialah yang pasang badan saat si penembak jitu berekasi di Gedung Opera Caulaincourt dan lalu bertarung melawan Spaldini.
Trevor telah salah paham pada Arcel, dan itu wajar saja karena ia adalah pria yang selalu mengandalkan logika dan cenderung bersikap skeptis terhadap hal-hal yang berbau supranatural, klenik atau bahkan ilahiah.
Namun, Trevor yang tak memiliki kekuatan gaib sama sekali bukan tandingan Robert Chandler atau pun Spaldini. Jadi, karena Arcel tak melawan, wajar saja Trevor menumpahkan segala malu, frustrasi, rasa tak berguna dan ketidakberdayaannya pada Arcel, satu-satunya yang dapat ia jadikan sasaran. Ia tak akan berhenti hingga hatinya puas sepuas-puasnya, atau...
“Hentikan itu, Trevor!”
Trevor terkejut, karena yang bicara itu adalah Anne. Gadis itu pasang badan di antara Trevor dan Arcel dan merentangkan kedua tangan, seolah-olah melindungi Arcel.
Di sisi lain, Chloe cepat-cepat menghampiri Arcel, berusaha menyembuhkan memar-memar di wajahnya dengan sihir.
Tindakan dadakan itu membuat Trevor tersadar seketika dari amukannya. Tinjunya terhenti setengah jalan ke wajah gadis yang memejamkan mata itu. Tindakannya untuk tak sampai menghajar wanita menunjukkan masih ada setitik akal sehat dalam dirinya.
“Yang benar saja kau, Trev!” tegur Anne sesaat setelah kedua mata birunya terbuka. “Arcel tak melawan, tapi kau masih saja menghajarnya! Di mana logika dan akal sehat yang kauagungkan itu, Trevor? Dengan mental labil seperti itu, kau sama berbahaya dengan Vittorio Spaldini yang menyerangku di taman kota! Kalau pun aku siap kembali ke istana, aku pasti akan takut untuk pulang bersamamu!”
Trevor terpaku, wajahnya pucat karena ia tahu telah khilaf.
Namun, Anne malah mencecarnya lagi dengan hardikan, “Kalau kau selalu bersikap seperti kesetanan tiap kali kau kecewa, entah pada orang lain atau pada dirimu sendiri, mungkin lebih baik kita jalan sendiri-sendiri saja di jalan hidup masing-masing, bukan sebagai kekasih lagi!”
Ucapan terakhir Anne itu adalah hantaman paling keras di hati pria berambut jingga itu. Sebagai psikiater, tentu ia tahu betul ucapan pamungkas Anne pada Leslie Cairns di pesta debutnya dulu kini beralih pada dirinya.
Ya, Trevor pernah hadir pula di pesta debut Anne dan telah memperhatikan tiap gerak-gerik, sikap dan juga tindakan Sang Putri Raja. Walaupun itu jelas ucapan yang berbeda, rasa nyeri parah yang ditorehkan pada hati pria paling terhormat sekali pun tetap sama dan sejenis dengan yang diucapkan dalam insiden “Tango Terbalik” Anne.