“Hmm, lezat sekali masakanmu, Emily. Terima kasih untuk jamuan makan malamnya,” kata Alistair Kane sambil menyeka mulutnya dengan kain tatakan yang telah disiapkan.
“Oh, kami senang kedatangan tamu amat istimewa malam ini,” tanggap Emily Raine. “Apalagi Bapak adalah atasan Chloe dan Arcel dan sesama musafir antar ranah. Tapi kurasa aku sedang tak ingin bicara tentang permusafiran, sihir, alam gaib atau semacamnya.”
“Tak masalah. Lagipula maksud kedatanganku kemari adalah untuk meninjau keadaan dan perkembangan Putri Anne di tempat persembunyiannya ini. Jadi, terserah apakah kau ingin ikut dalam perbincangan ini atau tidak.”
“Baiklah kalau begitu,” kata Emily sambil membetulkan letak kacamatanya sehingga kedua bola matanya tetap terlihat biru. “Aku akan cuci piring dan beristirahat. Silakan berbincang-bincang, Pak Alistair dan Tuan Putri.”
Emily bergegas mengambil semua piring dan perabot makan dari atas meja dan membawanya ke dapur.
Alistair Kane bersikap biasa-biasa saja terhadap sikap Emily yang cenderung menghindar. Mungkin ia maklum dengan alasan sesungguhnya si gadis berambut putih dengan highlight merah jambu itu bersikap demikian.
Mungkin sekali Emily juga sudah menduga Alistair sudah tahu tentang jati diri sejatinya, bahkan tentang silsilah keturunannya. Hanya saja ia sedang tak ingin membicarakan itu.
Tidak sekarang.
Tidak dalam waktu dekat ini.
Sesungguhnya, yang paling membutuhkan bantuan musafir tertua yang pernah ada itu saat ini adalah Anne. Untuk sekarang, Emily baik-baik saja karena Arcel sudah mengungkapkan latar belakang sejatinnya, membuatnya lebih memahami dirinya sendiri, kekuatan gaibnya dan cara menyikapi dan mendayagunakannya.