Selain bertarung dan menyabung nyawa, salah satu tugas paling berat sebagai seorang musafir antar ranah adalah saat harus melapor pada atasan mengenai hasil misinya, apalagi jika misi tersebut gagal.
Hal itulah yang membuat langkah-langkah kaki Arcel Raine jadi terasa makin berat. Masih terluka dan didampingi oleh rekannya, Chloe Hewitt, kedua musafir melangkah ke dalam sebuah restoran merangkap kafe, masih di Distrik Pasar.
Nama restoran itu adalah Excalibur’s Sheath. Walau tak terlalu mewah dan masakannya tak terlalu terkenal, tempat ini tak pernah sepi pengunjung. Ruangan-ruangan dalam restoran ini ditata amat tematik, konsisten dan selaras dengan sejarah Terra Everna.
Menilik penampilannya yang acak-acakan dan bercak-bercak darah yang tersisa di wajah, kemeja dan jas panjangnya, Arcel mau tak mau berjalan agak sembunyi-sembunyi di sepanjang dinding ruang makan, berusaha agar tak menarik perhatian para tamu lain.
Kabar baiknya, hampir semua pengunjung terlalu sibuk untuk memperhatikan Arcel dan Chloe. Entah mereka tengah menikmati hidangan, berbincang-bincang atau setidaknya menatap pajangan-pajangan unik yang tergantung di dinding atau terpajang di dalam lemari-lemari kaca.
Yang paling menarik perhatian para tamu tentuny adalah sebuah palu raksasa yang diletakkan tegak-lurus, gagang di bawah dan kepala di atas. Tentunya palu itu disangga dengan alas unik berbentuk tubuh manusia, dan terletak dalam lemari kaca tepat di titik tengah ruang makan restoran. Ada wajah seorang laki-laki botak yang terpahat di titik tengah kepala palu. Di alas lemari kaca ada sebuah plakat bertuliskan “TERRA NAKROβ”. Arti nama itu adalah Palu Pengguncang Tanah, salah satu senjata dewata paling legendaris di Terra Everna.
Kebanyakan tamu tak tahu dan tak peduli apakah palu raksasa itu dan segala benda pusaka lain di sana asli atau bukan. Hanya Arcel yang tahu pusaka-pusaka terkenal yang asli hanya Terra Nakroβ dan satu senjata pusaka lainnya, yaitu pedang panjang unik dari jenis kiliji yang telah dimodifikasi, yang konon adalah pedang pertama milik Robert Chandler, pahlawan besar Lore – yang kini beralih menjadi musafir kegelapan.
Tak heran Arcel mengerutkan dahi dan menggemeletakkan gigi saat melihat pedang orang yang pernah mengalahkan dirinya itu di dinding dekat ruang kantor restoran. Ingin rasanya ia mengambil pedang itu dan menunjukkannya pada Robert, untuk menekannya agar teringat pada kepahlawanannya dan mungkin akan beralih dari jalan sesat musafir kegelapan.
Demi kelestarian Terra Everna, zaman harus berubah. Tetap berkutat dalam tatanan lama akan berujung kehancuran. Apa pun alasannya, Robert harus ingat itu. Andai dia terus mengandalkan pedang lamanya, belum tentu dia menjadi pahlawan penyelamat Everna. Andai dia terus mengandalkan pedang dan tak beralih pada senjata api, belum tentu ia bisa menjadi musafir semumpuni sekarang. Bisa jadi dia malah mati konyol di tangan pendekar-pendekar yang lebih sakti daripada dirinya.
Tapi niat itu terpaksa diurungkan, karena Arcel harus segera masuk ke ruang kantor di samping pedang kiliji. Sambil menghela napas, Arcel membuka pintu dan melangkah masuk bersama Chloe.
Di dalam ruang kantor itu, ternyata tak ada meja dan kursi kerja yang tipikal untuk ruang kerja pemilik restoran. Sebaliknya, kantor itu malah kelihatan lebih seperti sebuah balairung istana raja.
Di sudut terjauh dinding terpampanglah lambang Ordo Altair, yaitu matahari yang separuhnya dilingkupi oleh bulan sabit berwarna emas berlatar belakang putih. Yang unik dari balairung ini adlaah meja di tengahnya berbentuk bundar simetris dan cukup besar untuk tempat enam belas orang duduk mengelilinginya.
Meja ini jelas tak sebesar meja bundar di Camelot, tempat Raja Arthur dan para Ksatria Meja Bundar berkumpul. Walau demikian, bentuk meja itu sudah cukup mengingatkan seseorang pada sebuah misi di masa lalu dan juga teman-teman lamanya. Orang itu adalah Merlin Azrabel, yang adalah adik kembar Alistair Kane, sesama musafir antar ranah.
Konon, Merlin pernah mendukung Raja Arthur Pendragon untuk mengumpulkan para Ksatria Meja Bundar, mengguratkan legenda tak terlupoakan di Inggris di Bumi. Saat Arthur sekarat akibat pertempuran terakhirnya melawan Mordred si pengkhianat, Merlin bersama empat wanita musafir antar ranah lain membawa sang raja ke Avalon dan membangkitkannya secara reinkarnasi di Terra Everna, dengan misi untuk mendirikan dan mempersatukan Kerajaan Lore, tentu dibantu empat ksatria terkuatnya, Lancelot, Gawaine, Percival dan Galahad yang juga diangkat sebagai musafir antar ranah.
Karena Raja Arthur terkenal dengan pedang saktinya bernama Excalibur, Merlin Azrabel menamai restoran ini Excalibur’s Sheath. Walaupun pedang dewata itu sudah tak tentu rimba, setidaknya ada sarungnya yang tersimpan rapat di restoran ini, menunggu untuk bersatu kembali dengan penghuninya.
Yang menunggu Arcel dan Chloe dialam Ruang Meja Bundar adalah Alistair Kane. Sang pemimpin ordo tampak sedang santai menikmati makan siang. Posisi duduknya tepat menghadap ke pintu, seperti layaknya pemimpin tertinggi sebuah organsiasi. Andai Merlin hadir di sana bergantian dengan kakak kembarnya, dia pasti akan duduk di tempat duduk Alistair.
Dengan santai namun tetap berwibawa, Alistair menyambut, “Mari, mari, silakan duduk, Arcel dan Chloe. Mari makan bersama. Kalian pasti lapar, bukan?”
Namun kedua “alumni murid Alistair” itu tetap bergeming, berdiri di tempat. Arcel berkata, “Maaf Pak Ketua. Aku harus menyampaikan laporan dahulu sebelum...”
Alistair hanya tertawa. “Apa kau lupa siapa aku ini?” ujarnya. “Dari tampang-tampang, juga raut wajah dan kondisi kalian, aku bisa menduga bahwa misi kalian telah gagal. Andai kau mengajak Chloe atau aku pula, hasilnya akan tetap sama.”
Arcel hanya berdiam diri, tak berani membantah.