EVERNA Bittersweet Symphony

Andry Chang
Chapter #66

Intermission OBBLIGATO

Ketika dua singa berlaga, akan ada yang menang dan ada yang kalah. Pastinya, keduanya akan kehilangan sesuatu atau segalanya.

Begitu pula yang akan terjadi pada dua pendekar yang sama-sama digdaya dalam pertarungan satu lawan satu, di bawah derai hujan deras, dalam keremangan malam, di tengah jalan raya yang luas di Kota Alceste, tepatnya di depan Gedung Opera Caulaincourt.

Pertarungan dengan pistol di bawah hujan tampaknya bukan pilihan bijaksana. Karena itulah dua pahlawan terbesar Lore, Arcel Raine dan Robert Chandler menggenggam erat pedang masing-masing. Mereka saling berhadap-hadapan dengan berdiri limbung, tubuh mereka, sudah berdarah-darah dan napas mereka memburu.

“Saatnya kita mengakhiri dengan satu gebrakan terakhir,” kata Robert, terkesan tak menanggalkan sikap ksatria. Aura api tampak menjalari tampak menjalari bilah pedang berbilah lengkung yang disebut kiliji di tangannya.

“Setuju. Tak ada yang lebih dinanti daripada penentuan hasil akhir pertarungan dengan cara kuno seperti ini,” timpal Arcel yang tersenyum sambil menyeka darah yang menuruni pipinya yang berhias rajah hitam. Replika Pedang Excalibur Evangelis teracung lurus di depannya.

“Ayo kita mulai.” Si rambut putih pasang kuda-kuda, diikuti pula oleh si rambut merah.

Karena tak ada wasit, kedua petarung bergeming. Mereka jelas menunggu pertanda saat yang tepat, lalu melesat maju bersamaan. Alasannya tentu saja karena perbedaan sepersekian detik saja dapat menentukan hidup atau mati.

Untunglah, tak lama kemudian terdengarlah suara gelegar guntur. Isyarat alam itulah yang memicu kedua petarung melesat maju, mendekat ke arah lawan masing-masing.

Masuk jarak serangan pedang, di saat bersamaan, Arcel dan Robert sama-sama menyabetkan pedang masing-masing dengan energi terkuat masing-masing.

Entah sepersekian detik kemudian, kedua pendekar berdiri saling membelakangi satu sama lain, darah membasahi kedua bilah pedang mereka.

Sesaat kemudian, ternyata Arcel yang lebih dahulu roboh. Ia berlutut di jalanan, memegangi luka sayatan baru di perut atasnya. Gilanya, tampak lawan masih berdiri tegak membelakangi dirinya.

“Ayo, satu gebrakan lagi! Aku belum kalah!” seru Arcel sambil memaksa diri mengangkat pedang, tapi ia malah muntah darah.

Robert tak menoleh dan hanya bergeming. Sesaat kemudian, si pendekar berambut putih roboh pula dan tertelungkup di jalanan, tak bergerak sama sekali.

Hasil akhir sesungguhnya dari duel ini terungkap sudah.

“Karena yang bertarung adalah dua orang musafir antar ranah, Arcel tak lantas cepat berpuas diri dan menarik napas lega. Sambil terus menggenggam erat pedangnya dan juga perut sampingnya yang masih berdarah, ia mendekati lawan yang lahir sezaman lebih awal daripada dirinya. Ia berniat memastikan dan memeriksa apa Robert masih hidup atau sudah tewas.

Lihat selengkapnya