Kali ini, rupanya harapan Putri Anne sejalan dengan kehendak Vadis, Sang Mahadewa Cahaya.
Ketika kedua mata Arcel Raine kembali terbuka, ia menemukan dirinya dalam sebuah kamar yang cukup mewah di tempat yang ia kenali sebagai markas Ordo Altair, Restoran Excalibur’s Sheath.
Benda yang pertama kali dilihat Arcel adalah sebuah lukisan besar berbingkai emas yang tergantung di dinding kamar. Pada lukisan itu tergambar sosok seorang ksatria berzirah lengkap yang mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Ia memegang perisai dan menunggangi seekor griffin, yaitu makhluk berkepala elang dan bertubuh singa, dengan dua kaki depannya terangkat tinggi.
Mata Arcel tak lepas menatap ksatria berambut merah itu, lalu terbelalak saat mengenali kemiripan antara wajahnya pada cermin tinggi di sebelah lukisan dan wajah si Ksatria Cahaya.
Yang Arcel dengar berikutnya adalah suara pria berumur yang sarat wibawa. “Yang kau lihat itu adalah lukisan salah seorang pahlawan terbesar di Terra Everna, yaitu Cristophe Deveraux. Ia juga bergelar Sage Kelima, Kaisar Imperium Kelima dan Pemimpin Laskar Terang pada Perang Suci Ketiga. Sungguh kebetulan, yang melihat lukisannya kini adalah pahlawan yang setara dengannya dan yang paling mirip dengannya di masa depan.”
Kedua mata Arcel terbelalak. “Benarkah itu, Guru?” tanyanya.
“Tentu saja benar. Sejarah telah menjadi saksinya, dan kini kau akan melampaui Cristophe dengan membantu proses tercetusnya satu zaman baru lagi.”
Arcel menghela napas. Mungkin saja Alistair sengaja menaruh lukisan dan cermin itu dalam kamar ini agar ia bisa terus ingat pada jati dirinya sebagai pahlawan dan terus termotivasi untuk maju dan tak pernah menyerah walau nyawanya di ujung tanduk.
“Nah, mulai hari ini kamar ini dan Restoran Excalbur’s Sheath adalah tempat tinggalmu yang baru,” kata si pria berpakaian serba putih. “Utusanku yang terpercaya telah mengambil barang-barang milikmu dari apartemen lamamu, karena tempat itu sudah lama diketahui musuh dan kau takkan aman lagi di sana.”
“Terima kasih, Ketua,” tanggap Arcel. Sebenarnya Arcel ingin protes karena baru sekarang ia dipindahkan dari apartemen lama, bukan sejak Robert menyerangnya di apartemen itu dahulu. Tapi apa boleh buat, baru sekarang itu perlu dan sempat terlaksana. Apalagi setelah kedua ketua dari Ordo Altair dan Ordo Gregorian ikut campur dan turun tangan dalam bentrokan ini.
Walau demikian, ada satu hal penting sekali yang harus Arcel lakukan terkait misinya. Ia berkata, “Tapi aku harus menyusul Putri Anne, Chloe, Emily dan Stephen. Aku harus melindungi...!”
Alistair mengangkat telapak tangan sejajar dengan matanya. “Kau sudah cukup banyak menyabung nyawa untuk Putri Anne. Kau sudah cukup banyak bertahan, dan kini waktunya kau yang mengambil inisiatif untuk menyerang musuh.”
“Tapi, andai Engelsohn langsung mengincar Anne, ia akan...”
“Aku tahu. Tapi perlu kau tahu juga, Anne dan kawan-kawan kini sedang menuju Hutan Tranvia bersama sebuah rombongan gipsi yang cukup tangguh. Andai Engelsohn ikut campur lagi, Chloe tinggal lapor padaku dan kita akan turun tangan menghadapinya. Jadi, Putri Anne kini cukup aman.”
“Oh ya, ada Chloe ya.” Arcel hanya mengangguk, baru sadar ia telah meremehkan rekannya sesama musafir antar ranah itu.
Tak ada gunanya mencecar kesalahan seseorang. Karena itulah Alistair berkata, “Nah, aku punya tugas lain yang sama atau bahkan lebih penting daripada jadi pengawal pribadi Putri Anne untukmu.”
“Apakah itu, Ketua?”
“Dengarkan baik-baik,” ujar Alistair Kane. “Aku menugaskanmu untuk menyelidiki Bianca Jask lebih jauh.”
Arcel mendelik. “Bianca Jask?” tanyanya. “Bukankah kita sudah mengetahui segala yang perlu kita ketahui tentang dia?”
“Apa kau tahu siapa kekasih Bianca sebelum Leslie Cairns?”
Arcel menegadah, mencoba mengingat-ingat segala informasi yang telah ia dapatkan, termasuk detil-detil yang sepertinya tidak berhubungan dengan penyelidikan.