Rahang penuh taring runcing serigala putih menganga, siap mengoyak leher si wanita tanpa kesaktian bernama Anne.
Segala usaha, perjuangan dan darah yang tertumpah harus sia-sia karena satu kesalahan bodoh.
Kesadaran yang datang terlambat menghilangkan segala rona di wajah Anne. Namun ekspresi wajahnya lebih cenderung tegang daripada ketakutan.
Anehnya, tiba-tiba rahang si serigala putih mengatup kira-kira dua jengkal dari hadapan Anne. Tak hanya itu, si serigala berhenti dan menyurut selangkah, menjauhi Anne. Ekspresi nyalangnya berubah kembali tenang seperti semula.
Anne, Chloe dan Janet terbelalak melihat perubahan sikap yang mendadak si serigala putih. Tanpa menggerakkan moncong sama sekali, si serigala lantas bersuara wanita dan berkata, “Aku tak percaya, ada wanita berdarah ningrat tapi berjiwa pejuang dan pemikir mendatangi hutan keramat ini.”
“Ah, ternyata kau bisa bicara!” seru Chloe tanpa mengendurkan energinya sedikit pun. “Maaf, kami tak bermaksud mengganggu, apalagi bermusuhan dengan semua makhluk gaib di Tranvia. Tapi karena kami tak sebhasa dan sepikiran dengan mereka, terpaksa kami harus mempertahankan diri...”
“Itu alasan paling biasa yang diucapkan kebanyakan orang untuk menyelamatkan diri sendiri dari amarah alam. Di alam liar ini, hukum yang berlaku adalah memangsa atau membela diri, jadi segala yang terjadi bukan kesalahan siapa pun,” ujar si serigala. “Tapi jika aku sampai membunuh orang yang bakal menentukan takdir Everna, kesalahanku takkan tertebus hukuman seribu kali disiksa di neraka.”
Aura suci yang terpancar dari tubuh serigala seakan menekan Anne, memaksanya bicara dengan sikap yang amat sopan, “Apa maksud Anda? Siapakah si penentu takdir itu?”
“Tentu saja kau, Putri Anne Galford dari Lore. Mata hatiku telah membaca isi pikiran, jiwa dan apa yang akan kau lakukan di masa depan dalam sekejap saja.”
“A-astaga!” seru Janet. “S-siapakah Anda sebenarnya?”
“Lihat baik-baik,” jawab si serigala putih.
Hampir seketika, cahaya putih menyilaukan membungkus tubuh si serigala putih besar. Karena terlalu menyilaukan, Anne terpaksa memicingkan matanya, bahkan menutupinya dengan mengangkat lengan, tak bisa melihat proses yang tengah terjadi di hadapannya secara langsung.
Beberapa saat kemudian, cahaya putih pudar. Anne membuka matanya dan melihat sesosok makhluk yang sama sekali berbeda daripada sebelumnya.
Sosok makhluk itu amat mirip kuda berbulu putih, dan tak ada sehelai pun bulu berwarna lain di tubuhnya. Bahkan Anne yang berjiwa gadis modern dapat mengenali makhluk itu dari semacam tanduk mirip cula bagai pasak runcing sepanjang bilah pedang yang mencuat dari dahinya.
“A-anda ini... unicorn!” seru Anne terbata-bata dengan mata terbelalak. Chloe dan Janet juga tak kalah takjub, terpaku di tempat seperti tersihir atau terhipnotis.
Tatapan mata dan pancaran aura suci si unicorn terasa teduh, menghangatkan jiwa. “Namaku adalah Physallis,” paparnya. “Dan aku telah menghuni hutan ini selama lebih dari dua ribu tahun. Selama itulah, benakku telah berkembang dan kaya kebijaksanaan.”
Namun jiwa Daini dalam diri Anne lagi-lagi tergelitik untuk berdebat secara logis. “Maafkan kelancanganku, Sesepuh. Andai Anda tak menemukan hal yang menarik dalam diriku, apakah Anda tetap akan menerkam dan menghabisiku?”
“Kalau akal budiku tak mampu mengekang naluri buas dalam wujud serigala putihku, kau pasti sudah tak bernyawa kini,” jawab Physallis sesederhana mungkin. “Keistimewaan dalam dirimulah yang merangsang akal budiku bekerja lebih cepat daripada biasa dan berhasil mengalahkan naluriku. Entah berapa orang lain yang tak seberuntung dirimu, Tuan Putri.”
Anne menelan ludah. Dalam bertindak, Physallis sama sekali tak main-main. Sebagai penegak hukum alam, si unicorn memilih tampil sebagai serigala ganas, membiarkan diri menghukum para pelanggar hukum alam tanpa pandang bulu. Pantas saja wujud unicornnya jauh lebih jarang muncul dan lebih sulit ditemukan, karena ia lebih cenderung bersembunyi dan mengintai “mangsa” sebagai serigala.
Physallis juga butuh bertindak cepat, karena pertimbangan dengan akal budi akan makan waktu sehingga si “terdakwa” bisa melarikan diri, berdalih atau melawan.
Karena para lawan bicara diam saja, Physallis kembali bicara, “Tuan Putri, kau telah berhasil membuatku muncul dalam wujud unicorn. Namun tindakanku selanjutnya tergantung jawabanmu atas semua pertanyaanku. Jiwa luar biasamu harus diuji mutunya.”