Sejak menerima berkat dari Physallis si unicorn, satwa tersuci di Hutan Tranvia, Anne jadi lebih berseri-seri dan penuh semangat hidup. Lagipula, makin seringnya Anne membantu pekerjaan para wanita gipsi memperkuat kesan perubahan dalam jiwanya.
Anne melakukan segala pekerjaannya tanpa mengeluh, bahkan malah besenandung. Walau tak terlalu merdu, setidaknya suara si gadis muda selaras dengan nada lagu yang disenandungkan. Yang mengejutkan, yang ia senandungkan bukan lagu-lagu pop dari ingatan Daini, melainkan lagu-lagu bernada klasik dan sederhana dari ingatan Anne yang tak pernah ia sadari sebelumnya.
“Wah, itu ‘Bara Hati Satria’, lagu perjuangan paling terkenal di seantero Everna!” celetuk Janet Pedrosa saat Anne bersenandung. “Tak kusangka kau mempelajari lagu rakyat itu, Daini.”
Anne malah menggeleng. “Tidak, aku belum mempelajarinya di sana. Lagu tadi muncul begitu saja dari alam bawah sadarku saat aku sedang mencuci baju, lalu terus terngiang sampai sekarang. Aku tak ingat lirik lagu itu, tapi kurasa aku pernah mempelajarinya entah kapan dan di mana dulu.”
Janet tersenyum puas. “Kurasa itu bagian dari berkat Physallis bagimu. Aku jadi iri padamu, Daini. Tapi apa benar kau mengalami amnesia?”
Anne merasa belum saatnya Janet mengetahui seluruh kejadian yang telah ia alami. “Ya, begitu parahnya sehingga kenangan masa laluku seakan terhapus seluruhnya dari ingatanku. Aku beruntung Physallis mengembalikan harta milikku yang paling berharga itu. Jadi, kini aku tak amnesia lagi dan tak perlu diterapi lagi.”
Mendadak Anne terkesiap. Ia baru ingat sudah lama sekali tak mendengar kabar tentang Trevor, psikiater yang masih berstatus kekasihnya. Kondisi dan keadaan pria yang telah melindunginya dan mengajarinya cara menembakkan pistol itu masih belum jelas.
Ah, andai Arcel ada di sini, mungkin ia dapat memberitahukan tentang Trevor padaku, batin Anne.
Janet kembali ke perkemahan dan Anne kembali larut dalam pekerjaannya mencuci baju di pinggir sungai. Beberapa menit kemudian, tiba-tiba ia mendengar seruan seorang pria, “Wah, wah, ternyata kau sedang memikirkanku, ya?”
Terkesiap, Anne menegadah dan menoleh ke arah si sumber suara. “Bukan begitu, aku sedang memikirkan Trevor, bukan...!”
Ternyata yang datang adalah Arcel Raine dan seorang pria lain yang belum Anne kenal. Anne jadi terperangah karena kedua pria itu kelihatan seperti kakak-beradik, dan Arcel terlihat lebih muda daripada si rambut hitam, walaupun perbedaan usia mereka tak begitu kentara, sebenarnya.
Chloe menyusul di belakang kedua pria itu, dahinya berkerut dan sudut bibirnya menekuk ke bawah. Mau bilang apa, kadang seorang wanita sulit masuk dalam dunia dua lelaki yang sedang akrab-akrabnya bersahabat itu.
“Lho Arcel, bagaimana bisa kau tahu aku berada di perkemahan gipsi di Hutan Tranvia?” tanya Anne.
Arcel menjawab, “Oh, tadi aku mengontak Chloe lewat telepati, dan dia membimbing kami ke tempat ini lewat telepati pula.”
Mau tak mau Anne berdecak kagum. Penggunaan telepati oleh seseorang mungkin sudah mulai biasa baginya, apalagi setelah ia bersambung rasa dengan Physallis baru-baru ini. Namun untuk mempertahankan sambungan telepati dalam waktu yang lama dan dengan jarak berjauhan, butuh kekuatan batin yang luar biasa besar. Dan konon, para musafir antar ranah atau yang setaranya sajalah yang dapat melakukan itu.
Sambil berjalan dari sungai kembali ke perkemahan, Anne lalu bertanya pada Arcel, “Oya Arcel, siapakah teman barumu itu? Apa dia salah satu keturunan Keluarga Raine juga?”
“Bukan. Mari kuperkenalkan.” Arcel lalu menunjuk pada Hymn dengan telapak tangannya. “Putri Anne, ini Horatio Hymn. Horatio, perkenalkan, Putri Anne Galford dari Lore. Tapi untuk sementara ini panggillah dia dengan nama ‘Daini’.”
“Oh, baiklah. Salam kenal, Tu... eh, Daini,” kata Horatio sambil membuka topi tingginya. Poni asli dari rambut hitamnya terlihat mengembang, aura ketampanannya yang setara dengan Trevor Branson, Leslie Cairns dan Arcel Raine terpancar makin nyata.
Reaksi Anne saat melihat Horatio pada pandangan pertama hanya pipinya yang jadi sedikit merah. Andai Anne bukan kekasih Trevor lagi, mungkin pipinya akan merah padam seperti kepiting rebus dan ia jadi salah tingkah seperti waktu pertama kali bertemu si psikiater di istana dulu.
Namun, bisa jadi kedewasaan akibat ditempa lewat perjuangan untuk mempertahankan nyawa sendiri dan mencetak sejarah yang membuat Anne bersikap wajar di depan Horatio, menyunggingkan senyum termanisnya saja.
Yang salah tingkah malah si pianis, pipinyalah yang jadi seperti kulit kepiting rebus. “M-maaf, Daini, tak seharusnya aku bersikap tak wajar di depanmu...” ujar Horatio.
Anne menyela, “Tak usah kuatir, Horatio. Aku sering mendapat sikap seperti itu dari banyak pria yang pertama kali berkenalan denganku.” Itu termasuk pengalaman dari kenangan “Anne lama”.
“Pantas saja. Kalau begitu aku masih termasuk normal, ‘kan?”
Anne membalas kelakar Horatio. “Itu tergantung. Menurutmu apakah pria yang menatap wanita sampai air liurnya menetes bisa dianggap normal?”
“Tidak, tapi aku tadi tak berliur, ‘kan?”
“Pastikan saja sendiri.”
Karena nada bicara Anne tetap seperti bercanda, Horatio yang menangkap maksud Anne juga ikut “bermain” dalam pembicaraan yang mengarah ke menyenangkan, mengendurkan sikapnya.