EVERNA Bittersweet Symphony

Andry Chang
Chapter #76

4th Verse POCO A POCO

Sore berganti malam dan malam berganti pagi. Namun tak ada kabar dan keputusan dari pihak kelompok gipsi.

Sesabar-sabarnya Anne, rasa ingin tahu yang besar mendorong gadis itu untuk mencoba menemui Janet. Namun Anne tak kunjung melakukan itu karena takut menyinggung perasaan sahabatnya, takut dianggap melangkahi wewenang ketua kelompok gipsi.

Chloe, Arcel, Emily dan Stephen sedang sibuk mempersiapkan segala macam hal untuk mempertahankan diri dari kemungkinan serangan sepasukan musuh. Namun Anne hanya bisa bertopang dagu dalam galau, menyendiri di meja makan dekat mobil Elgrade.

Saat Anne larut dalam galau, Horatio Hymn menghampiri dan menegurnya. “Apa gerangan yang membuat Tuan Putri galau?” tanya si pianis sambil tersenyum tipis. “Apakah karena belum ada kabar dari pihak kelompok gipsi?”

“Ya, mudah ditebak, ‘kan?” jawab Anne sambil menghela napas. “Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa harus menunggu saja?”

“Tidak. Berdasarkan cerita Arcel, konon kau pernah berpidato di Kantor Pusat Cairns & Co. Sesaat sebelum berangkat kemari, aku mendengar kabar bahwa pihak Istana lewat Kementrian Keuangan sedang memproses pemberian pinjaman modal kerja lunak untuk Cairns. Pidatomu ternyata berhasil membawa perubahan dan juga kebaikan yang berarti.

Nah, bagaimana kalau kau berpidato lagi di hadapan kelompok gipsi? Siapa tahu kau akan berhasil mempengaruhi kaum nomaden itu seperti halnya pihak kerajaan dan pemerintah.”

“Ah, begitukah?” Mata Anne terbelalak. “Waktu itu aku hanya spontan saja karena kebetulan berpapasan dengan Leslie. Tak ada janji untuk meluruskan kesalahpahaman di antara kami berdua. Aku juga secara spontan tergugah, bersimpati pada krisis yang dialami perusahaan Leslie. Kata-kata dalam pidato itu mengalir begitu saja tanpa rencana.”

“Kalau begitu, gunakan saja spontanitas seperti itu lagi,” ujar Hymn. “Tak usah pikirkan apa-apa lagi, fokus saja pada prinsip ‘yang kuat melindungi yang lemah’. Para musafir, penembak dan petarung melindungi Tuan Putri di sini, dan sebagian pejuang gipsi lain mengungsi sambil menjaga warga gipsi yang lemah, itu saja.”

“Tapi bagaimana jika mereka semua tak setuju dengan gagasan itu?” tanya Anne.

“Itu hak mereka. Mereka berhak memilih menyelamatkan diri sendiri atau menunaikan pengabdian mereka untuk melindungi dan menjaga alam dan sesama sebagai pengikut Enia. Kita tak bisa memaksa mereka. Biarlah itu terjadi secara spontan dan sepenuh hati, dan hasil terbaik akan tergurat dalam suratan takdir Vadis.”

“Baiklah kalau begitu, terima kasih ya, Horatio!” Ekspresi wajah Anne jadi jauh lebih bersemangat daripada sebelumnya. “Spontan, sepenuh hati. Spontan, sepenuh hati.”

 

==oOo==

 

Lain saat berdua, lain lagi saat menghadapi keramaian.

Walaupun bersama Horatio Hymn, saat Anne menatap massa warga gipsi yang mengelilingi calon api unggun nanti malam sore itu, rona wajahnya jadi sirna, pucat seketika.

Pasalnya, berkebalikan dengan para karyawan Cairns & Co. yang cukup berdisiplin, para gipsi ini ternyata adalah orang-orang yang sudah biasa bicara blak-blakan dan apa adanya.

“Memangnya siapa itu Daini?” “Mengapa dia bisa diburu oleh banyak pembunuh?” “Apa dia sebenarnya orang penting?” “Ah, si Daini itu tak lebih daripada gadis baik-baik yang suka membantu ibu-ibu di dapur dan mencuci pakaian.”

Ada komentar-komentar yang lebih parah. “Bukankah Daini dan teman-temannya adalah para mahasiswa yang sedang studi di Tranvia?” “Oh, aku tahu! Daini pasti telah melakukan kejahatan besar, jadi orang-orang yang telah dirugikan olehnya mengincar nyawanya untuk balas dendam.”

Walaupun tak banyak, ada segelintir komentar yang terkesan membela Anne. “Ingat, Daini gadis yang amat beruntung karena mendapatkan berkat dari Physallis, sang unicorn suci.” “Benar, aku rasa Daini bukan orang biasa. Tapi kami tak bisa memutuskan apa akan melindunginya atau menyuruhnya pergi, kecuali kami tahu tentang jati dirinya yang sebenarnya.”

“Tapi agar selamat, Daini harus merahasiakan identitasnya.” “Percuma, identitasnya pasti sudah bocor. Tak perlu berahasia lagi.” “Jangan-jangan, apakah dia tak percaya pada kita? Kalau begitu, bagaimana kita bisa percaya padanya?”

Di komentar terakhir itu, Anne tak tahan lagi. Ia menghampiri Janet Pedrosa dan bicara, “Maaf kalau ini menyinggungmu, tapi aku harus bicara pada mereka, Janet. Kalau tidak, ini akan jadi debat kusir yang tak ada akhirnya.”

 “Tapi massa sudah tak terkendali! Kalau kau tampil, mereka pasti akan mengamuk!” protes Janet.

Lihat selengkapnya