Kenyataan membuktikan, pengetahuan dini tentang ancaman yang akan datang jauh lebih baik daripada tidak tahu di awal dan saat mengetahui bahaya datang, segalanya telah terlambat.
Namun, ada dampak negatif dari pengetahuan dini tersebut. Tahu dirinya berperan sebagai “umpan”, wajah Anne jadi tegang dan pucat pasi, jantungnya berdebar-debar seolah lepas kendali.
Walaupun tempat perlindungan Anne agak terbuka, barikade berupa empat kereta gipsi yang mengelilinginya membuat dirinya sulit dibidik oleh sniper dan cukup terlindung dari berondongan peluru. Kecuali mungkin ada di antara para penyerang yang amat sakti, bisa terbang atau bisa melompat sangat tinggi, memanjat ke atas kereta barikade.
Bila barikade tersebut ditembus, ada Horatio Hymn yang siap menjaga Anne dengan pistol penuh peluru tergenggam di tangan, siap ditembakkan kapan saja.
Apalagi Hymn mencoba menguatkan Anne dengan kata-kata penghiburan yang lembut, diselingi canda. Entah kebetulan atau bukan, cara bicara Hymn tersebut amat cocok dengan jiwa Daini dalam diri Anne.
Ironisnya, Anne jadi merasa lebih akrab dengan Hymn daripada Trevor Branson yang belakangan jadi lebih cenderung serba serius daripada bercanda. Apalagi ada kepahitan dalam diri Trevor akibat cukup lama berpisah dari Anne saat Anne bekerja di Raine’s Deli.
Walaupun masih berstatus sepasang kekasih, andai Anne dan Trevor bisa menghabiskan waktu berdua lebih banyak lagi seperti di istana dulu, hubungan mereka tak akan pernah sama lagi.
Tetap saja, sedekat apa pun Anne dengan Hymn kini, Trevor masih menjadi dinding pemisah yang tebal di antara keduanya. Atau dengan kata lain, Hymn belum bisa mengisi ruang dalam hati Anne yang masih dipenuhi oleh Trevor hingga ke sudut-sudutnya.
“Nah, apa Anda merasa lebih baik sekarang, Tuan Putri?” tanya Hymn dengan nada santai.
“Yah, lumayan. Untuk sekarang, panggil saja aku ‘Anne’ dulu,” kata Anne sambil tersenyum. “Karena saat ini aku hanya seorang gadis yang ingin bertahan hidup. Gelar dan statusku malah makin mendekatkanku pada kematian... sekali lagi.”
“Baiklah... Anne. Ayo kita pusatkan pikiran untuk bertahan hidup. Aku tak punya kesaktian, namun kau dapat mengandalkan senapanku dan jari-jariku yang lincah.”
“Wah, jadi jari-jarimu tak hanya bisa menari-nari di atas tuts piano, ya?” Mata Anne terbelalak.
“Yah, begitulah. Senapan lebih mudah ‘dimainkan’ daripada piano, lho. Yang harus ditekan ‘kan hanya satu pelatuk saja. Yang merepotkan hanya aku harus mengisi peluru setiap kali tembak, jadi ritmenya tetap tak bisa secepat piano.”
“Tapi kurasa di dunia ini tak seorang pun bisa menembakkan senapan dengan cepat, berirama dan semerdu permainan piano seperti kamu, ‘kan?”
Hymn tertawa. “Bisa jadi, ditambah akurat pula... Awas, Anne!”
Peringatan mendadak Hymn membuat Anne menoleh ke arah Hymn menembakkan senapannya. Tampaklah sesosok pria yang melompat dari atap kain tebal kereta gipsi, terjun untuk menikam Anne dari belakang.
Tembakan Hymn tak terlalu akurat. Timah panas dari senapan tak melubangi jantung si pembunuh gelap, hanya menyerempet tulang kering kakinya. Tak ayal, si calon pembunuh yang ternyata adalah Oliver MacLair berteriak dengan suara melengking. Lalu ia memanfaatkan daya refleksnya untuk bersalto ke belakang.
“Menyebalkan! Awas kau, MacLair akan kembali lagi!” Sambil mengatakannya, si musafir cepat-cepat menghilang dari balik atap kereta. Beberapa detik kemudian, tak ada suara dan pergerakan di sekitar kereta. Merasa sudah aman, Hymn menurunkan senapan dan barulah Anne bisa bernapas lega.
Horatio menggeleng. “Tak ada yang menyusul. Si MacLair juga belum kembali,” katanya. “Kurasa dia menyerang mendahului pasukannya dengan harapan membunuhmu, memborong semua jasa dan pasukannya tak perlu menyerang kita. Itu tindakan yang amat heroik jika berhasil dan amat bodoh jika gagal.”
“Mengapa begitu?” tanya Anne.
“Karena dia gagal, kita jadi tahu pasukan musuh akan segera menyerang dan kita jadi jauh lebih siaga daripada tadi. Pasukan musuh akan lebih sulit mengalahkan kita sekarang.”
Mau tak mau Anne tertawa kecil. “Itulah akibat sikap egois dan serakah,” komentarnya. “Aku juga harus mengingat pelajaran ini untuk kugunakan di kemudian hari.”
“Wah, wah, ‘Ratu kepagian’ sudah beraksi sebelum saatnya tiba. Hati-hati lho, jangan melakukan kesalahan seperti MacLair.”
“Ya tidak, lah! Sepak terjangku di Cairns & Co. dulu sudah cukup jadi pelajaran agar aku lebih berhati-hati memberikan pernyataan lain kali, jangan sampai melangkahi wewenang Raja lagi.”
Keduanya tertawa lepas, mengulur segala ketegangan sebelum mereka bersiaga lagi.